Selasa, 09 Oktober 2007

Sepotong Percakapan dengan Agus R Sarjono


Untuk Agus R. Sarjono,
terima kasih untuk waktunya. Seperti kemarin aku sebut, mungkin apa yang anda sampaikan akan digunakan untuk ~Jalur Pitu~ majalah sastra dan budaya di FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Kedua, aku dan teman-teman sangat menghargai diskusi yang terjadi dalam percakapan ini. Ketiga, sekali lagi terimakasih.

Puisi ya? Ini suatu yang sulit…

Agus sarjono menyebut puisi sebagai semacam untaian rangkaian filsafat yang dipadatkan ke dalam bentuk kapsul. Lebih mudahnya, seni meng-kapsul-kan filsafat. Atau, kalau kata Subagio Sastrowardojo, puisi adalah filsafat dalam penjelasan seni.

Ini menjadi sulit karena bersifat personal sekaligus sosial; bukankah imaji tak punya batas kendali kecuali proses kesadaran pembuatnya sendiri?Aku mengira-ira, kronologinya seperti ini: raga anda pada suatu saat berselang lalu pernah didatangi oleh para setan secara vulgar. Mereka dalam waktu senggang menulis catatan harian yang ketika anda sadar sudah tergeletak begitu saja di hadapan anda, diatas meja kerja anda. Atau bagaimana?



Ha, proses kreatif penulisan sajak “Doa Iblis Suatu Malam” tidak seseram itu. Saya tidak pernah didatangi para setan secara vulgar seperti kisah-kisah misteri. Bukankah setan, iblis dan sejenisnya selalu ada bersama kita seperti juga malaikat? Secara sekilas, saya membaca kitab suci mengenai penciptaan manusia yang kemudian diberi ketinggian, dan ditasbihkan sebagai pemimpin dan wakil Tuhan di muka bumi. Tuhan meninggikan manusia, dan memberi posisi tertinggi makhluk di muka bumi karena manusia dianugerahi bahasa. Iblis menolak mentah-mentah untuk mengakui kemuliaan manusia. Dalil utama Iblis dalam menolak perintah Tuhan untuk memuliakan manusia, tidak lain tidak bukan, adalah sikap rasis. Ia merasa lebih tinggi karena dicipta kan Tuhan dari api, sedangkan manusia hanya dari tanah. Sampai sekarang, saya selalu beranggapan bahwa bapak rasisme adalah Iblis. Rasisme ini, kemudian, menjadi cara berfikir dan bertindak yang dianut secara keras kepala juga oleh manusia di banyak tempat dalam banyak babakan sejarah, persis seperti rasisme Sang Iblis.

Penolakan Iblis atas perintah Tuhan untuk memuliakan manusia membuat Tuhan murka, dan sejak itu, Iblis dikutuk untuk selama-lamanya. Tentu saja, kita semua menerima wacana ini, dan tak pernah mempertanyakannya. Hampir tak pernah ada, yang mengambil posisi Iblis dan membayangkan sikap dan pendapatnya mengenai kutukan Tuhan atasnya. Sebagai sastrawan, saya tergoda untuk mengambil sudut pandang (point of view) yang tidak populer, yakni sebagai Iblis. Dan, lahirlah sajak “Doa Iblis Suatu Malam”. Ditengah penulisan sajak itu, ada ketegangan pada diri saya bahwa saya seperti tengah menulis pledoi bagi Iblis. Jangan-jangan Iblis sedang berkerumun di sisi saya, dan memberi support bagi sajak itu. Saya berkali-kali berhenti, dan mengecek kembali netralitas saya sembari membayangkan diri sedang berada di persidangan a la anglo saxon sebagai lawyer dan menguji posisi manusia dan sejarahnya. Pada saat bersamaan, saya menguji pula posisi kemanusiaan saya.


Apa kemenangan puisi dibanding prosa? Temanku bilang (Hayooo siapa) puisi adalah bentuk seni paling filosofis dan murni karena tidak memberi tempat bagi oportunisme yang dapat disampaikan secara leluasa lewat prosa.


Saya tidak melihat adanya alasan bagi kemenangan puisi dibanding, misalnya, cerpen dan novel. Setiap genre seni memiliki kelebihan dan kekurangannya, tinggal bagaimana seorang seniman mengenali kelebihan dan kekurangan suatu genre dan mengoptimalisasi genre yang dipilihnya. Tentu saja, seni yang paling murni adalah musik karena ia bebas dari bahasa. Itulah kelebihannya. Dan, itulah juga kekurangannya. Ide puisi sebagai seni yang paling filosofis dan murni sangat kuat dianut pada masa romantik. Hal ini terlihat, misalnya, pada sajak-sajak Rainer Maria Rilke yang di satu sisi “murni” dan di sisi lain sarat dengan renungan-renungan filosofis. Apalagi, karya-karya klasik umumnya berbentuk puisi meski ia bukan puisi, seperti: karya-karya Homerus, bahkan sampai Shakespeare. Meski begitu, dalam perkembangan kemudian –sejauh urusan filosofis– prosalah yang lebih leluasa mendedahkan wacana filosofis, seperti karya-karya Albert Camus dan Sartre.

Demikian pula kemurnian puisi dari beban ideologi. Dengan mudah, kita temukan sajak-sajak kaum Lekra (juga Manikebu) yang sarat dengan muatan ideologis. Sementara, dengan mudah juga kita temukan novel dan cerpen yang “murni” dan bebas dari “beban ideologi” seperti karya-karya Yasunari Kawabata. Jadi, andaian yang mengglorifikasi puisi itu, sebagaimana setiap bentuk pemitosan, tidak terlalu tepat.

Anggapan sebaliknya juga sering terdengar, yakni: puncak dari sastra adalah novel karena novel yang panjang dan luas itu bisa merangkum berbagai segi kehidupan. Sebagaimana glorifikasi terhadap puisi, pemitosan novel ini juga tidak meyakinkan. Mutulah yang menentukan sesuatu, bukan jenis atawa genrenya. Muhamad Ali dan Mike Tyson serta Holyfield bermain di lapangan yang jauh lebih kecil dibanding lapangan sepak bola tempat bermain PSSI, tapi tetap saja “harga” dan kualitas Ali dan Tyson lebih tinggi dibanding PSSI. Ring Tinju jauh lebih besar dibanding papan catur, namun tetap saja para petinju Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Boris Kasparov.

Baru dalam tawuranlah ukuran dan jumlah menjadi lumayan signifikan.... He... he... he.... Kampung, sekolah, atau partai yang massa-nya lebih banyak punya kemungkinan untuk menang dibanding yang bermassa sedikit. Tapi, sastra kan tidak dinilai dari yang begituan.

Tentang imaji yang liar dan keluasan interpretasi dalam bahasa,
kesimpulan kecilnya mungkin menjadi pernyataan tentang naiknya bahasa sebagai sebuah struktur tertinggi dalam hidup manusia. Maka, siapapun yang bisa menguasai bahasa, setidaknya, punya kemungkinan mengendalikan dunia – hidupnya. Selalu punya argumentasi sekaligus apologi dalam kisi-kisinya. Maka, kemudian kupikir seniman duduk dalam status yang lebih tinggi dalam masyarakat. Dia dan suaranya adalah kebenaran yang kadangkala jadi patron baru bagi sekelilingnya; kesalahannya adalah bahwa kebenaran ada di mana-mana, dan bertebaran seperti sampah dan manusia adalah pemulung. Tinggal bisakah ia mengambil sesuatu yang bermanfaat?

Benar, bahasa menempati tempat tertinggi yang membedakan manusia dengan apapun. Lao Tze pernah berucap, untuk membersihkan masyarakat, bersihkanlah bahasanya. Sastrawan memang punya tugas untuk “membersihkan” bahasa. Tapi, sekali lagi tak perlu glorifikasi atas posisi seniman sebagaimana juga harus ditolak kecenderungan untuk meremehkan seniman. Seorang seniman harus memiliki keberanian untuk “mandiri”, merdeka dan berdaulat atas dirinya. Tapi di Indonesia tak banyak yang begini. Maraknya komunitas, misalnya, menunjukkan seniman lebih suka berkelompok dan berfikir sebagai kelompok bukan sebagai individu merdeka. Jika itu yang terjadi, bagaimana seniman bisa menyuarakan “kebenaran” yang menginspirasi masyarakat di sekelilingnya. Kesalahan dan kebenaran memang ada di mana-mana, tapi manusia tidak harus bertindak sebagai pemulung, mencari ap a yang bermanfaat dan kemudian menjualnya. Tidak! Manusia –apalagi manusia seniman– harus berani berkonfrontasi dengan kehidupan di sekelilingnya. Kebenaran, bukanlah sesuatu yang dipulung dari onggokan di sekitar kita. Bahkan dalam dunia sains, James Watt, Einstein, Edison dll, bukannya memulung dari onggokan di sekitarnya! Mereka mencari, berkonfrontasi dengan alam dan kehidupan, serta menemukan.

Dalam lingkup macam ini, di mana posisi pencipta karya?
Sebab, kebanyakan dari kita dan kecenderungan yang berlaku adalah selalu bermain-main di ranah logika-logika postmo. Tapi, saat ini kebanyakan toh mereka kembali berkubang pada apatisme eksistensialis. Banyak orang tidak lagi mau bicara soal logika biner, secara ideal mungkin memang kadang itu ga bisa dipertentangkan tetapi realitas toh mengharuskan kita berpihak pada sesuatu....

Sudah saya kemukakan bahwa sastrawan dan intelektual kita punya kecenderungan modis. Logika-logika postmo juga tidak dijalani sebagai sebuah pilihan dan sikap hidup melainkan sebagai mode. Tunggu saja mode intelektual terbaru dari Barat, Anda akan dapati kaum postmo itu –jika tidak terlambat membaca– akan berubah mengikuti mode mutakhir. Banyak orang tidak mau bicara soal logika biner karena memang tidak menguasai logika biner, sedangkan pemuka postmo menghindari logika biner karena tidak percaya pada logika biner. Jadi beda memang “intelektual produsen” dengan “intelektual konsumen”.


Dengan misteri dan sihir katanya, puisi menciptakan bahasa di atas bahasa dan menciptakan dunia di atas dunia? Mereka Cuma sekedar mampir ke bumi untuk mencari bahan dan ide segar di dalamnya. Bumi adalah objek. Dan, mereka adalah subjek; kadang-kadang mungkin sekaligus Tuhan ya?!... Gimana dengan pernyataan ini?


Sastrawan memang kerap disebut sebagai homo creator dan dalam banyak hal ada benarnya. Iqbal bahkan beranggapan (dan menghendaki) setiap manusia sebagai kreator, sebagai rasa syukur atas kreasi agung Tuhan, sebagaimana dikatakan dalam sajaknya:

Engkau ciptakan gulita
Aku ciptakan pelita
Engkau ciptakan tanah
Aku ciptakan gerabah


Namun penyair bagi saya –saya kira juga Mohamad Iqbal– tidak sekedar mampir di dunia/di bumi (baik untuk belanja bahan maupun untuk mampir minum). Penyair hendaknya HIDUP di bumi, HIDUP di dunia. Hidup di dunia bukan masalah sekedar (apalagi sekedar cari bahan dan memulung ide segar atau mampir minum), melainkan masalah serius karena itu ia harus hidup di dunia harus dijalani dengan kegirangan. Penyair bermuka-muka dengan dunia, dan dengan begitu, baru karya-karyanya bisa meninggi mengatasi dunia.


Dalam hal ini, bagaimana korelasi keliaran dan keluasan interpretasi yang adakalanya pada suatu titik menuntut pertanggungjawaban? Maksudku, pertanggung-jawaban publik ketika karyanya sudah dilaunching. Seniman sudah seharusnya bicara soal ini, siap dengan persoalan ini, dan tidak semata-mata bilang, ”Itu terserah bagaimana anda menilai, saya tak punya hak untuk memegang tongkat kendali penafsiran karena bisa-bisa ini jadi kekuatan otoriter baru yang menjajah dan jadi pola-pola hegemoni baru yang menerkan kesadaran publik” Tapi, masalahnya, ini membuat setiap orang bisa berlari seenaknya.

Subagio Satrowardojo pernah mengatakan bahwa sastrawan Indonesia tidak punya sincerity. Saya kira dia benar. Itu sebabnya banyak di antara mereka enggan mempertanggungjawabkan karyanya pada publik. Ungkapan yang mengatakan bahwa sastrawan tidak boleh bicara dan menafsir karyanya, di satu sisi, tidak bertanggung jawab; di sisi lain, sombong. Seolah-olah, jika sastrawan sudah mengeluarkan fatwa atas karya-karyanya, semua perdebatan putus, dan fatwanya jadi sabda. Tidak! Meskipun sastrawan menjelaskan (maksud) karyanya, jangan terlalu yakin bahwa pembaca tidak punya pendapat lain yang bahkan bertentangan dengan sang sastrawan. Pembaca punya kecerdasan, dan sastrawan tak perlu merasa diri lebih pintar. Kala bicara soal karyanya, Sastrawan yang mengandaikan dirinya punya kekuasaan bisa menjadi otoriter. Padahal, dalam hal tafsir, ia tak punya kekuasaan ap a-apa, bahkan atas karyanya. Ia tak bakal bisa menjajah publik meskipun ia ingin.

Sastrawan dan intelektual kita punya kecenderungan modis. Ingat waktu eksistensialisme sedang populer, hampir semua sastrawan eksistensialistis. Manakala postmodernisme jadi mode, semua karya dan omongan sastrawan berbau postmodernis. Jika mode berganti, cara bicara dan berfikir mereka juga berganti, persis peragawati/peragawan di atas catwalk yang berganti mode tiap saat dan tidak punya kaitan dengan pakaian yang ia kenakan, serta tidak punya keharusan mempertanggungjawabkan mengapa memakai pakaian ini atau itu. Banyak cara untuk sembunyi dari tuntutan untuk sincerity, di antaranya ungkapan “pengarang sudah mati” yang difahami salah kaprah di Indonesia, yakni jika suatu karya terbit, pengarang tidak mau bertanggung jawab lagi (honornya tentu diambil… he… he… he…, meski sastrawannya konon sudah mati). Padahal, ungkapan itu bermaks ud bahwa sebuah karya bagi seorang sastrawan pada titik tertentu adalah final sehingga sekali ia diterbitkan pada publik, ia menjalani nasibnya sendiri dan sang sastrawan tidak bisa lagi ikut campur dalam urusan tafsir (meski sastrawan belakangan ini ternyata ikut juga mengatur image diri dan karyanya lewat blow up media). Dengan begitu, seorang sastrawan harus sungguh-sungguh mempertimbangkan segala segi dari karyanya sebelum ia terbit dengan sepenuh-penuh kejujuran dan sincerity.


Apakah apatis adalah suatu konsekuensi kebebasan berkehendak yang lahir sebagai risiko? Kalau begitu, apa gunanya pernyataan kebebasan kalau kita tak bisa bicara soal kebenaran yang hakiki – meski ini juga sulit dirumuskan? Sebuah ruang abu-abu akan selalu menyelamatkan para opurtunis untuk berlenggak-lenggok? Lalu, apa hakikat seni? Kesadaran macam apa yang dibicarakannya?


Semua nilai selalu hierarkis. Misalnya, secara kualitas, samakah Goenawan Mohamad dengan Nirwan Dewanto? Anda yang menjawabnya. Jika tidak sama, berarti ada hierarki nilai. Jika sama saja nilainya cuma berbeda (differance), siapkah mereka diperlakukan sama dan kita memperlakukan mereka secara sama?

Ruang abu-abu adalah ruang kreativitas milik semua orang, dan menjadi signifikan di tangan seniman, karena dari posisi ini, ia belajar meragukan hal-ihwal serta memiliki kemungkinan melihat kompleksitas persoalan. Dan, dalam berurusan dengan ruang abu-abu inilah dituntut kesungguhan dan kejujuran seniman. Namun, di luar proses kreatif, ruang abu-abu tidak berlaku karena hidup yang penuh dengan keabu-abuan ini membutuhkan kejelasan sikap dan tanggung jawab, bahkan atas ruang abu-abu itu sendiri. Tanpa itu, ia jadi oportunis. Oportunisme bukan hak seorang seniman, apalagi kewajiban.


Apakah dalam hal ini kita juga sudah harus bicara soal kepentingan pasar dalam distribusi pengetahuan –teks puisi misalkan? Bagaimana pengharuh hal ini pada tahap proses pembiakan sastrawan muda dan ekses-ekses seniman pemegang media besar? Suatu yang kondusif dan progres atau malah justru sebaliknya?



Kepentingan pasar tentu menjadi kepedulian produsen (penerbit, misalnya) suatu industri cetak. Hal ini berbeda dengan hubungan seniman dengan pers, misalnya. Industri mengacu pada keuntungan, sementara pers mengacu pada kepentingan publik akan informasi. Industri pers harus bisa memadukan acuan pada cari untung di sisi industrialis, dan mengacu pada kepentingan publik di sisi lain. Dengan begitu, pers hendaknya berlaku jujur dan tidak korup terhadap publik dengan, misalnya, menggelapkan prestasi seseorang yang bukan temannya, yang beda golongan atau tidak diterbitkan oleh kelompoknya tapi memblow up habis-habisan teman, kelompok atau binaannya. Kecenderungan semacam ini mudah ditemui sekarang ini. Tidak percaya, lihat saja laporan tahunan di bidang seni atau sastra, dan kita segera bisa menemuinya.


Bagaimana perkembangan puisi dari dekade ke dekade. Misalnya, dulu manikebu vs lekra. Pertarungan ideologis macam itu atau yang lainnya apa masih kuat berbunyi? Mana yang lebih menarik atau yang lebih baik dari dekade-dekade yang ada?
Adakah kelemahan dalam masing-masing dekade baik dari segi daya kreasi maupun apresiasi serta polemik kritik seni sendiri? Bisa kasih contohnya gak?



Semua dekade punya kelebihan dan kekurangannya. Untuk sastra, sulit dipilih dekade mana yang paling baik karena banyak yang belum bisa dirumuskan secara relatif bulat dari generasi-gegerasi sastra tersebut. Untuk dunia politik, mungkin mudah menjawabnya. Kalau saya mau sedikit jujur, untuk politik, di antara semua dekade/generasi politik, boleh jadi dekade alias Angkatan 66 lah yang paling buruk dan tidak menarik. Mereka hidup dari modus meng-ada yang meng-Kami bukan meng-Kita, jika kita meminjam disertasi Fuad Hassan Kita & Kami: An Analysis of Two Basic Modes of Togetherness, yakni sebuah cara mengada yang senantiasa mengharuskan adanya musuh untuk diperangi. Mereka hidup dengan selalu membayangkan “musuh”. Hampir sebagian besar politisi atau aktivis Angkatan 66 bermasalah, dan paling besar membawa kerusakan di Indon esia. Orde Baru, misalnya, tidak bisa lain ditopang oleh berbagai anasir Angkatan 66, dan kita lihat sendiri kerusakan yang ditimbulkannya. Saya tidak tahu untuk urusan sastra.


Bagaimana perkembangan puisi sekarang ini? Adakah genre-genre atau modifikasi gagasan baru yang tertuang? Dan, bagaimana skill sastrawan muda? Apakah nilai filosofis di dalam karya masih terasa hingga tidak melulu mengagungkan bentuk dari pada isi?


Perkembangan puisi sekarang ini sungguh menarik dan kaya, kecuali di kalangan yang masih hidup di bawah bayang-bayang generasi sebelumnya.


Bagaimana pendapat Anda tentang puisi sebagai seni pertunjukan, dan kaitannya dengan seni pop? Apakah seni kemudian harus berakhir pada dikotomi perseteruan seni baik dan tidak lagi? Seni tinggi dan rendah?


Puisi dalam seni pertunjukan (juga di luar seni pertunjukkan) tergantung mutunya. Tanpa dipertunjukkanpun puisi buruk adalah puisi buruk. Jika puisi bagus dipertunjukkan dengan bagus, tak ada masalah dan justru memperkaya, karena sebuah pemanggungan adalah sebuah upaya tafsir yang menantang tafsir lain dari publik.

Seni Pop harus dibedakan dengan seni nonpop tapi tidak perlu diperseterukan. Banyak kalangan menganggap bahwa karya yang buruk itu pop, atau pop itu pasti buruk, sedang yang baik tentu nonpop, atau nonpop pasti baik. Untuk melawan itu, pop dan nonpop kemudian disamakan saja. Tentu saja ini tidak benar. Karya pop adalah pop dan bukan pop adalah bukan pop, lepas dari mutunya. Banyak karya pop yang bagus (sebagai karya pop) dan banyak karya sastra yang tidak bagus.


Bisa tolong sertakan beberapa karya?
Sesuatu yang spesial –buat anda pribadi dan pergolakan pada saat pembuatannya…
Trims buat waktunya.

(Puisi Agus Sarjono dimuat dalam edisi ini, pada rubrik puisi –red.)

Jakarta, 13 November 2003
Cinhapsarin

Tidak ada komentar: