Selasa, 09 Oktober 2007

Chairil?

Oleh J Prapta Diharja, SJ



Chairil Anwar, mengapa? Mengapa bulan April disebut bulan sastra? Bulan tersebut merupakan peringatan kematian Chairil Anwar. Mengapa kita peringati? Chairil Anwar merupakan salah satu tonggak besar sejarah sastra Indonesia. Chairil merupakan simbol sastra Indonesia. Apa yang bisa kita gali dari Chairil?

Chairil adalah sosok sastrawan kreatif, idealis, cerdas, berwawasan internasional, dan bervitalitas tinggi meskipun penampilannya tampak agak liar, jalang , acuh, tak mengurus dirinya sendiri. Dia memiliki visi jauh ke depan. Kreatif ia karena berhasil memberi roh terhadap kata-kata sehari-hari sehingga kata menjadi segar, tidak lagi klise. Dia, secara kreatif, menciptakan pengertian baru dari kata-kata sehari-hari sehingga melahirkan makna segar seperti menerang-jelaskan, padu satu, gumul-gulat, sangkut-kaitan, pengupas-pengkikis, gores-bedahan, dupa kepercayaan, mendarah-nanah, dst.

Ungkapan puisinya padat mampat. Setiap kata ”digalidikorek hingga ke kernwoord, ke kernbeeld” ke pengertian yang dalam. Chairil berhasil mengekpresikan puisi-puisinya secara bebas. Toh, itu tetap dapat mewakili dirinya. Dia berhasil menerjemahkan puisi-puisi asing menjadi sangat ekspresif sehingga tidak tampak sebagai terjemahan, melainkan sebagai milik pribadinya. Itulah kehebatan Chairil! Dia selalu asli. Saduran dan terjemahannya digarap dan diolah menurut selera dan pilihannya sehingga cocok dengan kepribadiannya. Sulit dibedakan lagi antara karya terjemahan, saduran atau karyanya sendiri. Negatifnya, dia sering melakukan plagiat secara jitu sehingga menyamai karya aslinya.

Pergaulannya luas. Dia bergaul dengan tukang becak, gelandangan, pelacur, seniman, hingga para pejabat. Dia seorang bohemian. Seorang “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”. Seorang Bohemian yang berwawasan global. Dia membaca dan menguasai sastra dunia, entah berbahasa Inggris, maupun Belanda. TS Eliot, Archibald Mac Leish, Marsman, Slauerhoff, Du Perron, W.H. Auden, John Steinbeck, Ernest Hemingway diakrabinya, bahkan Hsu Chi-Mo. Dia seorang kutu buku yang berwawasan luas.

Vitalitasnya sangat tinggi. “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Meskipun akhirnya ia menyadari bahwa bahwa “hidup adalah menunda kekalahan... sebelum pada akhirnya menyerah.” Enam bulan kemudian ia meninggal di Karet, yang disebutnya sebagai “daerahku y.a.d.” Kini, dia terbaring. “Kaulah yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan”. Dia ingin kita meneruskan semangatnya.”Teruskan, teruskan jiwa kami”.

Chairil bagai bintang yang muncul, bersinar cepat, kemudian menghilang. Pada umur 26 tahun, dia meninggal dunia dengan hasil karya monumental. Seumur mahasiswa. Umur yang singkat itu diberinya makna yang padat dalam hidupnya. “ Sekali berarti sudah itu mati”.

Apa yang bisa kita warisi dari Chairil Anwar? Semangat dan vitalitas hidupnya? Idealisme dan kreatifitas? Keintensifan hidupnya? Si kutu buku? Kesenimanannya dan keeksentrikannya?

Lahir 22 Juli 1922 di Medan dari orang tua yang bernama Tulus dan Saleha. Keduanya, berasal dari Payakumbuh, Sumbar. Dua bersaudara, dengan kakaknya Chirani. Ayahnya pegawai Belanda, dengan kedudukan yang cuku baik. Tulus berpawakan tinggi besar, mirip orang barat. Ibunya besar, pendek. Kehidupan rumah tangga ortu diwarnai oleh pertengkaran. Keduanya sama-sama galak, keras hati, tak mau mengalah. “Seperti besi dan api yang timbulkan nyala merah”. Di tengah lingkungan keularga demikianlah Chairil dibesarkan. Segala permintaan Chairil selalu dikabulkan. Kakek dan nenek Chairil pun adalah orang yang disegani masyarakat. Maka Chairil pun juga dimanja oleh masyarakatnya. Kedua, Chairil pun pandai dan cerdas di sekolah. Disenangi oleh guru-gurunya, dia.

Sekolah di HIS, MULO (SMP). Ketika di MULO, buku-buku setingkat HBS (gabungan SMP dan SMA) sudah dibacanya. Semua telah dilahapnya. Dia membaca karya-karya berbahasa Belanda, Inggris, terutama, tetapi juga Perancis dan Jerman. Karenanya, dia banyak mendapat pengaruh dari pengarang dunia seperti T.S. Eliot, Auden, Hsu Chih-Mo, Marsman, Slauerhooff, Du Perron, Rilke, John Cornford. Archibald Macleish, Willem Elsschot, Gracia Loorca, dll.

Ketika masih di MULO, ayah Chairil menikah lagi meskipun belum bercerai. Sejak itu, Chairil menjadi benci dan dendam kepada bapaknya. Jiwanya mulai gelisah dan ingin pergi dari rumah. Dia mendengar kota Batavia, dan ingin mengadu nasib ke sana. Pada tahun 1941, Chairil pindah ke Jakarta dan melanjutkan di kelas dua MULO. Akan tetapi, Chairil tak sampai menamatkan pelajaran di MULO. Pertama, karena kesulitan ekonomi.: ayahnya tidak lagi mengirim uang dari Medan. Kedua, bulan Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa sehingga keadaan tidak menentu. Bulan Oktober 1942, Chairil menulis sajak untuk neneknya yang sudah meninggal.

Nisan

Untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridaanmu menerima segala tiba
Takkutahu setinggi debu
Dan duka maha tuan bertakhta.


Sajak ini dibuat uintuk mengenang neneknya yang ia cintai dan kagumi. Maklum, dia sangat dekat dengan neneknya, dan dimanja olehnya. Mungkin karena situasi keluarganya yang kerap cek-cok, dia lebih krasan di rumah nenek. Lebih-lebih setelah ayahnya kawin lagi. Kematian orang yang sangat dekat dan dikaguminya menyentak hidupnya.

Chairil mulai dikenang di kalangan seniman dan budayawan di Jakarta tahun 1943. “Suatu hari dia datang ke redaksi Panji Pustaka; seorang muda kurus pucat, tampak tidak terurus. Matanya merah, agak liar, tapi seperti selalu berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti orang tidak peduli,” kata Jassin. “Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat dalam Panji Pustaka. Tetapi, pemimpin majalah itu mengatakan bahwa sajak-sajaknya tidak mungkin dimuat. “Tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis, lebih baik dimasukan saja dalam arsip pribadi. Kiasan-kiasannya terlalu Barat.”

Tanggal 1 April 1943, pemerintah Jepang mendirikan Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) di Jakarta. Bagian sastra dipilih oleh Armijn Pane. Chairil sering bertandang ke kantor kebudayaan itu untuk berbincang-bincang dengan seniman lain. Juli 1943, Chairil seharusnya berbicara di depan forum angkatan muda di kantor kebudayaan tersebut, akan tetapi dia tidak muncul karena sedang ada urusan dengan polisi rahasia Jepang (ditahan).



Kisah Kasih dengan Sumirat


Suatu hari, Chairil bertemu seorang wanita yang sedang melukis di Cilincing, Jakarta Utara. Wanita itu bernama Sumirat, berasal dari Jawa Timur. Sumirat terkesan pada pertemuannya dengan Chairil. “Cril, bagiku, adalah orang yang aneh. Ketika itu, Cril duduk bersandar ke sebatang pohon, membaca buku tebal. Mula-mula, aku tak peduli. Tapi, beberapa kali melewatinya tanpa peduli di sekelilingnya, membuatku benar-benar heran. Orang-orang bersenang-senang di sini, dia lebih tenggelam dalam bukunya,” kenang Sumirat. “Dalam perjalanan pulang, pikiranku tak lepas dari dia. Kenapa dia masa bodoh dan tak peduli? Aku jadi tertarik padanya.”
Suatu hari, saudara Sumirat bercerita bahwa Chairil sedang berurusan dengan pengadilan karena dituduh mencuri. Dia dijatuhi hukuman denda. Akan tetapi, Chairil tak punya uang. Maka, Sumirat membayar denda itu. Esok harinya, Chairil berkunjung ke rumah Sumirat. Pembicaraan menjadi asyik. Kunjungan berlanjut dan to be continued. Sumirat pun mengagumi Chairil. Penyair dan pelukis pun berpacaran. Mereka menonton film berdua, jajan berdua. Chairil pun sering menemani Sumirat melukis, sambil membacakan sajak-sajaknya.

Sajak Putih
Buat tunanganku Sumirat

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku betudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengelun bergelut senda

.........
buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati
di alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam
Tubuhku....


Pada tanggal 18 Januari 1944, sajak itu dikirim dengan kartu pos; kemudian diposkan kepada Sumirat di Paron, Jawa Timur. Setelah merasa mantap dengan Sumirat, Chairil pun memberanikan diri datang ke Paron menemui orang tua Sumirat. Chairil ingin melamar Sumirat! Sayang, lamarannya ditolak oleh orang tua Sumirat. “Anak cari kerja dulu yang baik dan tetap. Nanti, kita bicarakan lagi,” kata orang tua Sumirat pada Chairil. Maklum, Chairil tidak berpenghasilan tetap. Dia hanya penyair. Dengan kecewa, Chairil kembali ke Jakarta. Walaupun demikian, Chairil masih muncul lagi di Paron. Namun, orang tua Sumirat tetap bersikeras: tidak mengijinkan putrinya menikah dengan Chairil. Sumirat tinggal kenangan dalam diri Chairil. “Ratu Mirat” hanyalah dalam imajinasi Chairil.

Ratu Chairil yang sesungguhnya ialah Hapsah, putri Haji Wiriareja. Mereka menikah 6 September 1946 di Krawang, Jawa Barat. Lahirlah, Evawani Alissa.

Sayang sekali, dia mati sangat muda, dua puluh enam tahun. Meninggalkan kita di CBZ (RSCM, Jakarta) 28 April 1949.

Sajak-sajaknya menghembuskan semangat dan cita-cita muda, penuh energi dan vitalitas, selalu baru dan segar. Meski demikian, ekspresinya sangat matang. Semangat hidupnya itu tersurat dalam ungkapan, Aku ini binatang jalang, aku mau hidup seribu tahun lagi. Bagi dia, hidupitu harus bermakna, seperti dalam ungkapan, sekali berarti sudah itu mati. Meski hidup pendek, namun yang pendek itu penuh arti. Chairil, seorang idealis tinggi, cerdas, berwawasan luas, eksentrik, jalang, namun dibalik itu semuanya ada kejujuran dan keprihatinan di dalam dirinya.

Tidak ada komentar: