Selasa, 09 Oktober 2007

SASTRA MELAYU-TIONGHOA DI MATA SEORANG TIONGHOA MUDA

Oleh Andreas Susanto


Perhatian publik sastra saat ini tampaknya tertuju pada bangkitnya genre sastra Tionghoa, tepatnya Melayu-Tionghoa, kembali ke kancah sastra Indonesia modern. Ini adalah kalimat pembukaan dari sebuah catatan yang ditulis oleh seorang pemerhati sastra. Pertanyaan awam yang segera muncul, benarkah ada gejala kebangkitan itu, dalam artian munculnya sejumlah karya baru yang mengikuti genre tersebut. Sementara yang terlihat adalah diterbitkannya kembali sekumpulan karya sastra Melayu-Tionghoa masa lampau. Menarik untuk melihat bagaimana ragam pandang terhadap kemunculan karya-karya lama itu.

Bila pada masanya sastra Melayu-Tionghoa dipandang rendah dan diperlakukan bukan sebagai bagian dari sastra Indonesia, apakah setelah sekian dekade lalu tiba-tiba pandangan dan perlakuan itu telah berubah? Kiranya perlu dipahami bahwa sebelum Orde Baru pun, keberadaan sastra Melayu-Tionghoa sudah dipandang sebagai bentuk keengganan atan bahkan resistensi etnis Tionghoa untuk melebur ke dalam masyarakat pribumi. Oleh karena itu, sebagian besar budayawan dan sastrawan pribumi turut mendukung politik marginalisasi terhadap sastra Melayu-Tionghoa. Dengan demikian, sejak awal, pandangan dan perlakuan terhadap sastra Melayu-Tionghoa amat terkait dengan politik etnisitas, masalah pri-nonpri dan diskriminasi rasial. Agak sulit membayangkan terjadinya perubahan radikal yang begitu drastis setelah selama lebih dari tiga dekade kita berada dalam dominasi ideologi pembauran yang mengharuskan lenyapnya identitas ketionghoaan di negeri ini. Meskipun demikian, harus diakui bahwa kita juga melihat ada upaya untuk membangun perspektif yang lebih positip terhadap keberadaan sastra Melayu-Tionghoa dalam sejarah perkembangan sastra di Indonesia, di tengah-tengah munculnya kesadaran baru dalam melihat masalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa setelah Tragedi Mei' 98.

Penerbitan kembali karya sastra Melayu-Tionghoa tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks politik pasca lengsernya Suharto, dimana ada tendensi untuk mengembalikan hak budaya masyarakat Tionghoa. Selama era Orde Baru, segala yang bernuansa Tionghoa ditekan ke dalam proses pemusnahan (cultural genocide) yang diberi nama “Pembauran”. Di satu pihak, kemunculan reproduksi itu dapat dilihat sebagai cermin perubahan kebijakan politik terhadap etnis Tionghoa. Di pihak lain, ia menyingkapkan suatu politik identitas meski tidak sekentara dan segegap-gempita sepak terjang Barongsai.


Namun, politik identitas boleh jadi lebih merupakan mainan para aktivis Tionghoa yang berpandangan integrasionis daripada sebagai bagian dari kesadaran kolektif etnis Tionghoa yang heterogen. Pengungkapan kembali sastra Melayu-Tionghoa yang diterbitkan antara tahun 1870 sampai 1960 lebih merupakan upaya untuk memperoleh pengakuan sosial bahwa budaya Tionghoa juga merupakan bagian dari kebudayaan bangsa (daripada sekadar mengingatkan bahwa sebuah genre sastra Melayu-Tionghoa pernah ada dan berkembang pesat). Begitu kuatnya upaya itu hingga dalam ungkapan yang high profile, seorang aktivis Tionghoa menuliskan dalam bukunya (Tionghoa Dalam Pusaran Politik) bahwa pengarang Tionghoa sebenarnya telah menjadi pelopor dan memainkan peranan yang sangat penting dalam mengisi khasanah sejarah kesastraan di Indonesia. Padahal, seperti diakui pengamat sastra Al-Fayyadi, amat sulit menemukan kajian komprehensif yang membahas bagaimana genre sastra Melayu-Tionghoa dan genre sastra Indonesia saling berhubungan secara timbal-balik. Dari sisi ini, kita dapat melihat bagaimana penerbitan karya sastra Melayu-Tionghoa memiliki tujuan yang searah dengan penerbitan buku Arus Cina-Jawa-Islam, yang ingin menunjukkan bahwa etnis Tionghoa memainkan peran yang penting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa. Sebelumnya, buku-buku yang membahas posisi etnis Tionghoa secara kritis tabu untuk dipublikasikan. Bahkan, Pramudya Ananta Toer sampai dipenjarakan karena bukunya Hoakiau di Indonesia.

Di luar komunitas sastra, terutama di kalangan generasi muda Tionghoa, kehadiran kembali karya sastra Melayu-Tionghoa nampaknya memang lebih dilihat sebagai pertanda akan adanya pengakuan terhadap ekspresi budaya Tionghoa seperti halnya kemunculan kembali barongsai di arena publik. Sedangkan, sisi substansi sastranya sendiri nampaknya tidak berbeda dengan generasi muda non-Tionghoa yang sama-sama dibesarkan dalam era globalisasi. Sulit dibayangkan, mereka akan sungguh tertarik atau menikmati karya best-sellernya Kwee Tek Hoay, Boenga Roos dari Tjikembang, misalnya, atau cerita Siti Nurbaya dari Marah Rusli. Kemunculan kembali karya sastra Melayu-Tionghoa mungkin lebih menarik perhatian kalangan terbatas, yaitu mereka yang menaruh minat khusus pada perkembangan sastra atau yang ingin mengkaji genre ini secara serius. Dengan kata lain, usaha untuk mempopulerkan kembali karya sastra Melayu-Tionghoa di luar komunitas sastra atau di kalangan generasi muda Tionghoa akan berhadapan dengan arus jaman.


Menarik, untuk mengetahui apakah kehadiran karya sastra Melayu-Tionghoa itu akan membangkitkan minat generasi muda Tionghoa untuk menekuni bidang sastra di tengah-tengah stigma bahwa etnis Tionghoa hanya tertarik mengembangkan bidang bisnis semata. Apakah kehadiran sejumlah karya sastra Melayu-Tionghoa akan dapat menyegarkan kesadaran mereka bahwa meskipun di masa lalu, kebanyakaan anggota komunitas Tionghoa bergiat dalam dunia perdagangan, toh ada apresiasi yang tinggi terhadap kesusastraan (terlihat dari perkembangan sastra Melayu-Tionghoa selama seabad yang memunculkan jumlah pengarang dan karya yang luar biasa)?

Tentu saja, kepedulian akan apresiasi terhadap kesusasteraan pada hakekatnya tidak berkaitan dengan latar belakang ras. Masyarakat yang maju dan sejahtera di mana pun, pada umumnya, ditandai pula oleh tingginya penghargaan terhadap kesusasteraan. Oleh karena itu, genre sastra mestinya juga tidak harus memiliki kaitan dengan ras. Andai dikemudian hari mulai banyak anak muda Tionghoa yang menaruh minat untuk menulis karya sastra, rasanya, itu tidak berkaitan dengan bangkitnya genre sastra MelayuTionghoa. Hanya karena kebetulan mereka disebut Tionghoa -walau tidak lagi jelas budaya Tionghoa seperti apa yang masih lekat dalam kehidupan sehari-hari mereka-, tidak lalu serta-merta mereka akan melahirkan karya sastra yang eksklusif, yang memiliki ciri atau karakteristik ketionghoaan. Dengan begitu, pengembangan kesusastraan di kalangan etnis Tionghoa bukan lagi menjadi bagian dari politik identitas, apalagi etnisitas, melainkan bagian dari pengembangan sisi kemanusiaan kita bersama.

1 komentar:

lilia mengatakan...

Pou Chen International Group (www.pouchen.com), is the world's largest sports shoes manufacturer, have production base in Taiwan, mainland China, Vietnam, Indonesia, including internationally renowned brands such as Nike, Adidas; Reebok and so on are all our treasure customers. 
At present Sukabumi GSI plant(PT. Glostar Indonesia; Jl. Pelabuhan II KM 14,5 Desa Bojong Kec. Cikembar, Kab.Sukabumi 43161 Jawa Barat) plans to expand, need to recruit a lot of personnel in a lot of departments and variety level with favorable returns, the requirements as follows: 
1. Age of 18-35.
2. Skillful at Chinese communicating
3. If good at Chinese writing, office computer & fluent in English will be an advantage).
If you or your friends or relatives meet above requirements, please welcome to contact or send CV to :
Ms. Lilia: Email: lilia@gsid.co.id Hand phone: 08999812979 (0266)6323841/42 ext: 6050; or
Mr. Lin (HR Department): E-mail: davidlin@pyv.com.vn
Indonesia hand phone: 081386035606  Vietnam hand phone: 84-903991179
Skype: linhsienchun889