Selasa, 09 Oktober 2007

Ruang Publik

Oleh : Peter Johan


Aku melirik jam tangan.

Sudah jam lima lebih duapuluh menit. Tapi Nien belum juga muncul. Biasanya paling tidak jam lima lebih limabelas ia sudah tiba di sini. Mungkin ia masih sibuk dengan pekerjaan kantornya yang menyisakan sedikit lagi tugas.

Kantor kami berseberangan. Di halte ini biasanya kami janji bertemu untuk pulang bersama-sama. Semua diawali dengan sebuah ketidaksengajaan, ketika peristiwa petang itu mempertemukan kami. Aku dan Nien yang kebetulan sedang menunggu bus menyaksikan seorang lelaki tua tertabrak motor yang sedang berlari kencang membelah kemacetan. Kami berdua tak lagi berpikir panjang. Segera saja aku bersama Nien melarikan lelaki tua itu dengan taksi ke rumah sakit terdekat.

Perkenalan pun tak terelakkan. Menunggu hasil dari rumah sakit bersama kerabat dari si lelaki tua, menunggu proses dari kepolisian, dan menunggu jatuhnya malam ke dalam pelukan sang dewi. Waktu di antara kami terpampang begitu luas, tanpa cakrawala yang membatasi. Hanya bicara dan saling bersapa setelah sekian lama terbingkai dalam kerumunan halte di petang hari. Tapi naas, lelaki tua itu harus menghembuskan nafasnya di rumah sakit tanpa tahu siapa yang menabraknya.

Kami sedikit terpukul, terutama Nien. Beberapa hari lamanya aku tak melihat Nien. Mungkin ia sedang berusaha memahami semuanya. Aku sendiripun tak kuasa untuk menghilangkan rekaman peristiwa itu detik demi detik. Si lelaki tua, sebuah kilatan dari motor yang begitu cepat, dan genangan darah dari kepala si lelaki tua. Aku bergidik. Tapi semua begitu cepat dilupakan. Halte ini masih berdiri, lengkap dengan keramaian di setiap petangnya, di mana manusia-manusia pekerja yang keluar dari gedung-gedung pencakar langit memenuhinya. Tak ada kulihat secuilpun kedukaan yang tersisa.

Butuh empat hari bagi Nien untuk kembali memunculkan dirinya di tengah-tengah halte ini. Ia terlihat lebih segar dan bersahaja. Rajutan waktu yang terhampar di antara empat hari begitu membekas pada dirinya. Kami bertatapan, saling memayungi di antara kerumunan manusia-manusia kota.

“Maaf, Sam. Aku terpaksa harus mengistirahatkan diri barang sejenak. Darah itu…si lelaki tua…semuanya mengiang-ngiang”, katanya di petang itu.

Aku mengerti maksud dan ucapannya. Keberaniannya saat mengangkat kepala si lelaki tua di petang itu bukan semata-mata muncul dari keberanian yang terdefinisikan. Ia hanya keberanian yang ambigu, keberanian yang muncul sesaat. Keberanian yang tercerabut paksa dari kerumunan manusia-manusia yang begitu lelah setelah seharian dipaksa bergumul dengan kertas dan angka. Semacam spontanitas atas kedaulatan kesadaran manusia, walau itu hanya sisa-sisa dari kesadaran manusia-manusia mekanik. Keberanian seorang perempuan yang berdiri tegak di antara sistem dunia laki-laki. Aku salut padanya.

Aku sendiri tak begitu paham mengapa aku begitu kuat menghadapi kajian-kajian yang memenuhi otakku atas peristiwa tragis petang itu. Sebagian diriku berucap syukur atas peristiwa petang itu, karena ia telah begitu baik memperkenalkan Nien padaku. Harus kuakui, aku telah mengamatinya jauh sebelum peristiwa petang itu. Biasanya kami naik bus dengan jurusan yang sama, di mana ia turun beberapa blok sebelum perhentianku. Tapi semua itu tak cukup bagiku untuk mendapatkan kekuatan, bahkan kekuatan untuk menanyakan namanya. Dan peristiwa petang itu merubah segalanya, melompati kekuatanku sendiri.

Haruskah aku berterima kasih kepada si lelaki tua? Atau mungkin kepada si pengendara motor? Atau boleh kukatakan pucuk dicinta ulam tiba?

Entahlah. Yang pasti, peristiwa petang itu telah menghapus jarak antara aku dan Nien. Kami menyempatkan waktu luang untuk bersama. Menghabiskan waktu makan siang di tempat-tempat yang tak begitu ramai. Berbincang, bersenda gurau, dan meluapkan semua kekesalan atas dunia kerja yang begitu membuat penat. Di petang hari kami biasa bertemu di halte ini. Aku mulai memberanikan diri untuk mengantarkannya pulang sampai depan pagar rumah dan menjemputnya lagi esok pagi. Tak ada sedikitpun tanda dari perempuan itu untuk menolak.


Sementara peristiwa petang itu semakin terlupakan dan terhanyut bersama denyut halte yang tak pernah berhenti merekam setiap jengkal langkah manusia-manusia pekerja. Penggal waktu yang telah terburai dalam waktu yang semakin mendekatkan aku dengan Nien.

Aku kembali melirik jam tanganku. Sudah setengah jam dari pukul lima, dan Nien masih belum terlihat. Seperti biasa, pagi tadi ia berangkat bersamaku. Tak sedikitpun ia terlihat sakit atau menampakkan kelelahan mekanisme tubuh. Tak ada yang aneh dari dirinya kecuali perbincangan tentang peristiwa petang itu.

“Ini sudah dua minggu ya, Sam”, katanya di atas bus pagi ini.

“Dua minggu? Apanya yang dua minggu?”, sahutku tak mengerti.

“Kau lupa? Betul-betul lupa? Dua minggu yang lalu kita menyaksikan kematian si
lelaki tua. Masakkan kau tak ingat sedikitpun?”.

“Ah, ya. Tapi bukan si lelaki tua yang ada dalam ingatanku. Yang kuingat dari peristiwa dua minggu lalu adalah saat di mana pertama kalinya aku diperbolehkan oleh realitas untuk menyapamu dalam kata”.

Dan Nien tersipu sembari mengembangkan senyum tipisnya, senyum milik kehadiran seorang perempuan yang sepertinya telah begitu lama kukenal.

Ya, aku tersadar. Selain Nien dan keluarga si lelaki tua, tentunya tak ada lagi yang mengingat peristiwa petang itu. Bahkan aku tak lagi mengingat peristiwa petang itu sebagai sebuah tragedi. Benakku berkata, peristiwa petang itu adalah kebetulan riil yang mengijinkanku menjamah segala ketidakmungkinan. Juga halte dan seluruh isinya.

Mungkin juga orang-orang yang membangun halte dan jalan ini. Mereka telah melupakannya, bahkan tak sedikitpun berusaha mengenang. Si lelaki tua telah terlupakan bersama serpihan debu-debu jalan yang terbang tanpa tujuan.

Aku mulai resah. Tapi nalarku masih berkuasa dengan baik. Akan kutunggu beberapa saat lagi, mungkin ia masih tertahan dengan beberapa pekerjaannya. Aku mengalihkan perhatian pada kerumunan orang-orang di halte ini. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang pekerja yang setiap petangnya berduyun-duyun turut memenuhi halte ini.

Beberapa wajah tak asing untukku. Kuputar lagi perhatian. Beberapa remaja tanggung dengan seragam putih abu-abu, dan dua orang pedagang gendong turut dalam kerumunan.

Perbincangan antar para pedagang itu menarik perhatianku. Jarak mereka yang tak lebih dari setengah meter memungkinkanku untuk bisa ikut mendengarkan pembicaraan mereka.

“Kau tahu, ia habis dipukuli orang-orang sini”, kata si pedagang rokok.

“Memangnya apa yang dicopet?”, tanya si pedagang koran.

“Biasalah. Hanya sebuah dompet”, jawab si pedagang rokok lagi.

“Kapan kejadiannya?”, tanya si pedagang koran dengan wajah antusias.

“Kemarin siang, saat jam makan siang. Si pencopet kelihatannya tahu betul jam makan siang adalah jam operasi yang bagus”, kata si pedagang rokok terkekeh.

“Lalu?”, sambarku ingin tahu.

Aku melebur dalam obrolan mereka. Tapi ternyata aku tak sendirian. Beberapa orang mulai ikut terlibat dalam perbincangan itu. Kami berkerumun mendengarkan cerita si pedagang rokok tentang seorang pencopet yang tertangkap basah saat sedang menjalankan tugasnya. Dengan mimik mukanya yang serius, ditambah gerak tubuh kakunya, si pedagang rokok menceritakan bagaimana si pencopet habis dipukuli orang-orang yang sedang berada di halte. Katanya lagi, pencopet itu mati mengenaskan dengan kepala pecah terhantam batu aspal.

Edan! Batinku berseru. Dan baru hari ini aku tahu bahwa kemarin ada orang mati di halte ini. Mengapa tak ada ucapan belasungkawa? Mengapa begitu mudahnya sebuah nyawa melayang tanpa bisa dimaknai sedikitpun keberartiannya? Terlalu cepatkah perputaran roda waktu hingga gilasannya tak memberikan sejarah pada ruang-ruang yang tak bersentuhan dengan kekuasaan? Edan! Edan! Dunia ini tak lagi waras, tetakku dalam hati sembari meringis.

Aku mengangkat kepala. Ketidakmengertian masih memenuhi kepalaku ketika suara decit ban mobil mengagetkanku. Beberapa orang bergegas menghampiri untuk melihat apa yang terjadi. Ada yang tertabrak! Ada yang tergilas! Tabrak lari! Suara demi suara saling menindih memenuhi kerumunan halte ini. Tak butuh lebih dari dua detik bagiku untuk segera beranjak melihat apa yang terjadi.

Aku terkesiap. Mataku tertumbuk pada sebuah tas tangan hitam yang begitu kukenal. Bukankah tas tangan yang tergeletak di dekat trotoar itu milik Nien? Cepat-cepat kubelah kerumunan yang menutupi seseorang yang tergolek di aspal jalan. Darahku berhenti. Sebuah ketakutan luar biasa mengungkungiku. Mata nanarku melekat kuat pada tubuh bersimbah darah itu.


Ah, Nien. Mengapa kamu harus terlambat keluar kantor?

Jakarta, Maret 2004…sang kebetulan!!!

Tidak ada komentar: