Selasa, 09 Oktober 2007

NikahNikah Dorothea

Oleh Ag Wahyu


Pada suatu pagi yang cerah, sepasang manusia terlihat begitu bahagia. Yang satu mengenakan setelan jas gaya Eropa, bersepatu mengkilat dan wangi. Satunya memakai gaun putih panjang dengan mahkota ratu-ratuan seperti dalam dongeng kerajaan. Di antara sekian kerumunan manusia, mereka berdualah yang terlihat paling serasi. Hari itu, mereka menikah.

Pukul sepuluh pagi, di sebuah gereja yang semarak, upacara pernikahan dimulai. Berbahagia / bergembira / tiba saatnya berserah setia /Berbahagia / bergembira / cinta bersinar bagai cahaya / Lajulah bahtera hidupmu / Mercusuarlah tujuanmu. Kemudian, pastor memimpin, dan melanjutkan upacara.

Lalu, tibalah saatnya. Dengan terbata-bata dan mata berkaca-kaca, pengantin laki-laki mengucapkan janji setia kepada pasangannya. Dalam untung dan malang. Sehat maupun sakit. Seumur hidup. Pengantin perempuan juga menjanjikan hal yang sama. Juga dengan terbata-bata dan berkaca-kaca.

Ruangan dalam gereja itu hening ketika janji-janji diucapkan. Orang-orang mengikuti dengan seksama. Ada yang mengeluarkan sapu tangan dan mengusap air matanya. Ada yang diam tertunduk Ada yang memejamkan mata. Hanya terdengar suara yang terbata-bata itu: janji setia dari pengantin.

***

Pada suatu pagi yang cerah pula, seorang perempuan yang wajahnya terbungkus kegelisahan menulis sebuah sajak: ketika menikahimu, tak kusebut keinginan setia. / engkau bahkan telah menjadi budak penurutku. / dunia yang kumiliki kubangun di atas bukit batu dan padang ilalang. / kau bajak jadi ladang subur yang mesti kupanen dalam setiap dengus nafsuku..... tapi aku menikahimu tidak untuk setia.

***

Pernikahan, bagi sebagian orang, adalah sesuatu yang suci. Orang menempatkannya sebagai momentum yang berharga dan meriah dalam kehidupan. Mereka mengadakan pesta dan mengundang orang-orang untuk ikut merayakan. Beberapa orang bahkan menghabiskan ratusan juta rupiah untuk sebuah perayaan pernikahan. Bukan lain, pernikahan adalah sesuatu yang terjadi “sekali seumur hidup”, atau katakanlah tidak sesering matahari terbit.

Tapi, cobalah tengok sajak-sajak Dorothea Rosa Herliany! Makna dan kesan pernikahan yang terbayang sebagai sesuatu yang “paling indah dan kudus” tak akan didapati. Kita akan berjumpa dengan gambaran pernikahan yang mengerikan, angkuh, egois, tidak wajar dan sesekali murahan. Malahan, beberapa sajaknya adalah pemberontakan yang garang atas pernikahan. Seperti sajak yang ia tulis pada tahun 2000 di atas: ketika menikahimu, tak kusebut keinginan setia.


Jauh sebelum itu, 1989, Dorothea sudah mempertanyakan kesetiaan dalam pernikahan pada sajaknya yang berjudul nikah rumputan.

telah lusuh gaunpengantin: lepas
rendanya. sebab bunga liar yang esok bakal
kaupetik, tak tumbuh juga. bagaimana aku bisa
menunggumu dengan setia?

Ia memikirkan pasangannya: sedang bangkubangku telah berlumut. nafasmu
mendekapkan cemas dan kesangsian., selain mempertanyakan diri sebagai subyek dalam sajaknya: sedang sunyi membiarkan rebab menggesek rumputan di batinku.

Setelah berada dalam ketegangan kegelisahan akan penyerahan diri dan otoritas individu, Dorothea nampaknya menampilkan keputusasaannya terhadap pernikahan dan kesetiaan.

Telah lusuh, sayang! Kemudian dengan telanjang
:segalanya kusimpan pada kuntum bunga yang
dilupakan kumbang.

Apakah sesungguhnya pernikahan itu? Dalam banyak sajaknya, Dorothea mengajak kita untuk mempertanyakan kembali apa makna pernikahan sesungguhnya. Seperti ia bertanya, “sekarang kutagih ranjang bunga. atau keranda?” Ia berada dalam kelumit tanya, apakah pernikahan akan menjadi suatu hidup yang mekar berwarna-warni, atau akan membawanya dalam kematian diri (secara personal dan lantas sosial).

Pada dasarnya, pernikahan adalah pelembagaan atas kesepakatan untuk hidup bersama antara pria dan wanita. Ia adalah pengukuhan, deklarasi, pengumuman yang bersifat sosial. Dan karenanya, orang-orang yang sudah menikah diberi status yang berbeda oleh masyarakat. Pembedaan status itulah yang lalu menciptakan perbedaan perilaku, kepantasan-ketidakpantasan, hak-hak dan juga kewajiban-kewajiban secara sosial., Seorang istri, misalnya, akan dinilai buruk ketika pulang terlalu malam. Dan, seorang suami, dianggap punya kewajiban utama mencari nafkah untuk istri dan anaknya. Tentu saja, implikasi dari status menikah ini dapat berbeda-beda dari kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya.


Nampaknya, ketegangan dan kegelisahan yang terjadi dalam sajak-sajak Dorothea berkisar pada bagaimana diri sebagai individu yang otonom dan merdeka harus meleburkan diri dalam identitas baru: keluarga. Ini persoalan kebebasan. Untuk sebagian orang, pernikahan memang dianggap menjadi bencana yang mengancam keutuhan eksistensi diri. Dan tentu saja, ini memang beralasan.

Permasalahan lain yang seringkali terjadi selepas pernikahan adalah pembagian wilayah kekuasaan antara suami dan istri. Perempuan sebagai istri menjadi termarjinalkan karena hanya berada dalam wilayah domestik, apalagi dalam masyarakat patriarkal. Perempuan terjebak (dijebak?) begitu memasuki pintu perkawinan akibat struktur dan tata nilai dalam masyarakat yang memaksanya demikian. Eksistensi dirinya diukur berdasarkan kemampuan mengelola dapur, merawat anak dan melayani suami. Dalam kultur masyarakat tertentu, misalnya Jawa, istri yang baik adalah yang tunduk dan menurut pada suami. Seorang suami adalah kepala keluarga, dan karenanya: suami memimpin, istri dipimpin.

Melalui sajak-sajaknya, Dorothea nampaknya juga berusaha mendobrak pemahaman-pemahaman yang merugikan posisi perempuan dalam perkawinan. Ia jelas mencari posisi tawar yang nyaman bagi kedua pihak. Hal ini nampak dalam penggalan sajaknya yang berjudul Nikah Sungai:

di mana ruang yang kausediakan buatku?
buat percintaan mahadahsyat. buat pertempuran
takusaiusai. nafsu yang senantiasa membuahkan
kebencian dan bencana.

Pernikahan adalah peleburan, langit dan laut yang terjaring jalajala, perkawinan yang sempurna! Tetapi barangkali, peleburan tetaplah sesuatu yang mengada-ada, yang mungkin hanya menjanjikan keranda:

mempelai itu berjalan di atas tubuhtubuh terkulai.
menuju rumah pengantin, sebuah gubuk dengan
tiang tulang, dan rumbairumbai mayat. di seberang
sungai mati, menuju ranjang bulan madu – sebuah
keranda yang sunyi.

dan akhirnya:

maka aku pun ingin memahat batu itu.
bertahuntahun. akhirnya kucipta nisan.



sumber imaji: nikah ilalang, nikah sungai, nikah perkampungan, nikah laut,
nikah bebatuan, nikah rumputan,nikah pisau, wedding song, buku harian perkawinan.

Tidak ada komentar: