Selasa, 09 Oktober 2007

Dan, kami siap untuk lupa !

Salam, pembaca sekalian! Di hadapan Anda ini, adalah semacam pertunjukan yang penuh noda: ritus performance art terkadang memiliki cara tersendiri untuk menyelipkan diri. Mungkin ini sekedar ritual sebuah proses untuk “mencoba berani” berbicara tentang sesuatu yang (baru) diketahui, yang mungkin telah banyak diketahui umum. Pengetahuan umumkah?

Atau, ini mungkin pertunjukan yang muntah karena kehendak untuk selalu memelihara keinginan. Freewill and some wishfull thingking for a reason to be here… Ah, entahlah

Pertunjukan ini buah refleksi beberapa kepala yang penuh beraneka isi. Aneka rupa dan makna begitu menjalin-kelindan. Ada kekesalan pada situasi yang terus tertahan di pintu ruang perubahan. Sedang, ia tak mau masuk lebih ke dalam. Ada yang mencoba mencari secercah ilmu buah pemikiran.

Sampai suatu waktu, semua akan terbelalakkan. Entah oleh apa, siapa, atau dengan cara bagaimana. Saat itu akan datang dan menghantam kesombongan segala dalam batok kepala. Apakah ini bagian dari kehendak manusia untuk berkuasa? Setidaknya, inikah kunci pengetahuannya untuk gembok kepala sendiri? Atau ini adalah pertunjukan yang lahir dari jaring-jaring kebetulan terberi yang siap ditelan bulat-bulat? Apapun asumsi yang mencuat, pertunjukan toh akan terus berjalan.

Ini semua cuma sebuah keinginan untuk tidak menjadi gila: di tengah-tengah kegusaran atas ketidakmampuan bertanya lagi tentang segala. Ia adalah mitologi yang terus hidup. Begitu seterusnya: setengah harapan, setengah impian, dan sisanya adalah hasrat.

Baiklah ini sebuah catatan. Sebuah alur tak berbentuk. Semacam emosi yang muncul tiba-tiba. Begitu toh, tak apa. Dan, barangkali adalah suatu takdir: belajar di tengah anomali sejarah diri sendiri. Dan, ini sekedar kisah di tengah silenzia jaman yang begitu menutup mulut: tak mau berkata banyak tentang hari esok.

Jadi, nikmati saja dan biarkan angan-angan menggelantung pasrah di awan keentahan…

Beamtenstaat

Oleh Heribertus Sulis


“Kalau di Negeri Belanda, dan ternyata orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya, orang Hindia musti diperintah oleh orang-orang Belanda,”
(Hidjo, Student Hidjo, 46)

“Meskipun saya seorang Belanda, tetapi saya seorang manusia juga yang mencintai rakyat bumiputera. Sebab mereka juga manusia. Dan saya sebagai pemimpinnya wajib menjaga keselamatanya,”
(Tuan Asisten Residen S, Hikajat Kadiroen, 162)


Dalam sejarah prosesnya, nasionalisme dan negara seringkali menjadi dua hal yang bertentangan meski kecenderungan modern keduanya pada akhirnya, adalah peleburan yang melewati jalan beronak-darah. Seperti di Indonesia dan juga di banyak negara berkembang, nasionalisme yang lahir dan bertumbuh dari sebuah gerakan menentang kekuasaan kolonialisme, menempuh pula jalan tak gampang itu.

Gerakan nasionalisme awal yang dilakukan kaum terdidik bumiputera untuk memperjuangkan kebebasan individu-individu manusia ini menjadi tanda adanya keinginan manusia terjajah untuk membentuk suatu bangsa dan menciptakan sebuah negeri yang tidak lagi dipegang dan dikuasai oleh penjajah (yang selain telah mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi, juga telah menciptakan suatu dunia sosial budaya yang hierarkis diantara keduanya); melainkan kekuasaan negara baru yang dibangun atas dasar kemampuan sendiri.

Ide negara-bangsa ini, di mana negara memiliki kelahiran yang lebih tua dibandingkan bangsa, pada akhirnya akan memunculkan adanya peleburan yang memiliki karakter dominasi satu pihak terhadap pihak lain (Anderson, 2000). Dalam banyak kasus di Eropa, negara memiliki sejarah yang lebih tua dibanding kemunculan sebuah bangsa, sehingga nasionalisme terbentuk dalam suatu negara yang telah berdaulat. Mereka membentuk bangsa adalah untuk meneruskan nilai-nilai agung yang telah ada, yang ditumbuhkan selama berabad-abad berupa kesadaran akan hak-hak individu.

Sedangkan yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya, bangsa terbentuk mendahului kedaulatan negara; keinginan membentuk suatu komunitas nasion adalah untuk melawan penindasan yang dilakukan kolonialis yang tidak mengakui hak-hak individu sebagai manusia, sehingga pembentukan negara yang diinginkan selalu dibayang-bayangi kekuasaan negara penjajahnya. Bukannya melindungi masyarakatnya, negara baru ini malah mewarisi nilai-nilai penindasan pendahulunya dengan bertindak korup dan sewenang-wenang. Individu warga tak diakui dan dijamin hak kebebasannya, keadilannya, atau keamanannya untuk mengembangkan diri.


Dalam salah satu tulisannya, Ben Anderson telah memaparkan dengan padat bagaimana watak negara kolonial menjelmakan diri dalam bentuk negara Orde Baru dengan menyertakan pembuktian-pembuktian, yang menurutnya, merupakan akibat dari desakan tertentu dalam kebijakan di bidang ekonomi, sosiopolitik dan militer. (Negara dalam hal ini adalah suatu lembaga yang sama dengan lembaga lainnya seperti perusahaan, univeritas atau gereja; yang diartikan oleh Ben Anderson, memiliki karakteristik aturan keluar-masuk personalia yang cermat, memiliki memorinya dan menampung desakan-desakan pelestarian dan pengagungan diri, yang diekspresikan melalui anggota-anggotanya yang hidup namun tidak dapat direduksi menjadi ambisi-ambisi pribadi mereka yang terungkap. Kelahiran negara-bangsa dilalui dengan suatu permusuhan antara “bangsa” sebagai gerakan solidaritas di luar negara di satu sisi, dan “negara” kolonial di sisi lain).

***

Negara kolonial tampak bentuknya sejak abad 17 pada perusahaan dagang VOC melalui pembentukan tentara, memungut pajak, membuat traktat, menghukum orang. Pendekatan politik-militer ini terus berlanjut melalui penegakan rust en orde hingga diberlakukannya Politik Etis, suatu politik balas budi yang dilakukan kaum penjajah yang dalam kata-kata van Deventer, “bertujuan agung membentuk lapisan sosial di Timur Jauh yang berutang budi pada Belanda karena memberi mereka kemakmuran dan budaya tinggi.”

Sejarah peleburan dalam bentuk dominasi negara-bangsa di Indonesia bisa dilihat pada masa munculnya zaman pergerakan menyongsong abad XX, terutama ketika diberlakukannya Politik Etis oleh negara kolonial.

Bagi penjajah, Politik Etis dipergunakan untuk mempertahankan jarak sosial budaya antara kaum penjajah dan terjajah; suatu hal penting untuk membangun adanya “perantara” antara penjajah dan terjajah yang terentang jurang, sekaligus tetap mendidik mereka dalam batas-batas yang dibutuhkan, terutama untuk memenuhi kebutuhan administrasi. Untuk mengurusi bidang-bidang pengairan, keagamaan, pengawasan politik, dan pendidikan yang sesuai dengan cara kerja kolonial, jelas dibutuhkan tenaga-tenaga terampil pribumi dengan didikan “modern”. Pegawai administrasi ini haruslah memiliki kharisma dan status sosial tinggi dalam tata masyarakat pribumi. Hal ini diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan kolonial, yaitu dengan cara memanfaatkan kedudukan terhormat mereka “hanya” di mata masyarakat saja, sedangkan secara sturktural mereka tetaplah di tempatkan di bawah kekuasaan kolonial. Dengan demikian, masyarakat akan dapat dikontrol dengan cara menjadikan para keturunan priyayi tersebut sebagai bagian dari kekuasaan kolonial.

Tetapi, Politik Etis melalui pendidikan gaya Barat tidak hanya memproduksi jenis tenaga kerja untuk negara. Pendidikan ini juga digunakan oleh pihak kolonial untuk membuat bumiputera menjadi orang-orang modern seperti gaya hidup Barat (Eropa). Selain itu, pendidikan gaya Barat memungkinkan Bumiputera untuk menaikkan status sosial mereka. Contoh yang baik dalam soal ini adalah novel Student Hidjo karya Mas Marco. Bagaimana kehidupan priyayi muda (Hidjo) digambarkan mirip (sesuai) dengan kebiasaan hidup Barat: menonton bioskop, berjalan-jalan di kebun binatang, minum limun di restoran, lebih senang membaca buku daripada mengobrol, dan mendengarkan musik yang bukan gamelan (Shiraisi,1997). Dan, kemungkinan menaikkan status sosial keluarga tampak dalam keinginan ayahanda Hidjo yang seorang saudagar, yang sengaja menyekolahkan anaknya agar menjadi ingeniur di Negeri Belanda.



“Saya hanya seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini, orang masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement. Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut menjadi pegawai Gouvernement, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar atau petani. Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja. Buktinya anak kita juga bisa belajar seperti regent-regent dan pangeran-pangeran.” (hal.2-3)

Regent-regent dan pangeran-pangeran, jauh sebelum terbentuknya pergerakan modern, adalah kelas sosial tinggi dalam masyarakat Jawa yang diangkat sebagai administrator bawahan pemerintahan Belanda. Bupati berfungsi sebagai penghubung utama antara penduduk desa dengan pemerintah kolonial, antara dua dunia yang terentang jurang. Mereka menjadi kelas terdidik pribumi yang memiliki kesadaran “tradisional” yang khas priyayi, sekaligus kesadaran “modern” melalui penguasaan keterampilan teknis birokrasi dan penguasaan bahasa Belanda.

Dua kesadaran inilah yang menjadi watak jamak pembentukan nasionalisme Indonesia yang mana, kaum muda bumiputera yang lebih radikal dibanding generasi pendahulu mereka memiliki kesadaran nasion yang lebih tinggi. Salah satu tokoh radikal masa itu adalah Semaoen, yang mengarahkan pergerakan menuju aksi langsung dan jalur yang revolusioner melalui organisasi ISDV. Dalam novelnya, Hikajat Kadiroen, Semaoen mengkritik kebiasaan Jawa yang hormat-tunduk pada orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan menertawakan tata cara adat Jawa yang melakukan sembah dan jongkok di hadapan petinggi (Shiraisi, 1997).

Yang disebut sebagai Opas di sini adalah seorang tua bernama Pigi. Ia sudah 33 tahun bekerja menjadi opas Asisten Wedono Samongan. Ia sudah biasa mendapat pelajaran, bagaimana menghormati semua tamu-tamu Belanda. Apalagi jika tamunya itu adalah Tuan Administratur. Tamu orang besar seperti itu, pasti akan dia sebut kanjeng. Demikian pula apa yang diperintahkan oleh para tamu-tamu besar semacam itu, pasti segera dilaksanakan dengna secepat-cepatnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Opas Pigi segera berlari seperti dikejar harimau, menghadap tuan Asisten Wedono yang sedang makan pagi di ruang makan, rumah belakang. Ketika Tuan Asisten Wedono mengetahui ada tamu Tuan Administratur, ia segera berhenti makan. Ia mengambil baju jas dan dengan tergopoh-gopoh seperti orang yang hendak naik kereta api yang siap berangkat, berlari ke pendopo untuk menemui tamu besar Tuan Admisnistratur tersebut.

Administratur menceritakan kasus pencurian ayam yang dialami ‘nyonya’ dan memerintahkan Asisten untuk menyelesaikannya, dan Asisten menyatakan kesanggupannya. Kelucuan terjadi pada penggunaan kata “pergi” yang diucapkan Tuan Administratur dengan logat Belanda menjadi “pigi”, hal mana sama dengan nama Opas tersebut, Pigi.



“Saya kanjeng, sebentar lagi saya akan datang ke rumah kanjeng untuk mengurusnya sendiri.”
“Baik Asisten. Jadi Asisten mau pigi….”
“Kanjeng…!” terdengar suara keras Opas Pigi dari luar. Ia segera berlari dan duduk bersila seperti katak menghadap Tuan Administratur. Tuan Administratur menjadi sangat terkejut dan marah besar, kaerna ia tidak merasa memanggil opas. Tetapi kini datang seorang opas. Ia mengangkat kakinya, dan sambil sepatunya terarah ke muka opas ia berteriak:
“Pigi!”
“Hamba Kanjeng!”
Opas Pigi tetap duduk sambil menyembah-nyembah mendapat usiran Tuan Administratur.


***

Pada masa yang lebih belakangan, negara kolonial mengalami pembesaran dalam jumlah pegawainya, baik yang berasal dari Eropa maupun bumiputera. Masa ini ditandai pengeluaran biaya negara yang berlipat-lipat untuk membiayai urusan kepegawaian. Peran negara kembali muncul dalam bentuk militerisme yang nyaris memecah belah wilayah kolonial Belanda di bawah penjajahan Jepang. Negara bertambah babak belur setelah dilanda kemerosotan moral dalam bentuk korupsi dan hiperinflasi yang tak kunjung teratasi. Namun, kemungkinan terburuk dari hilangnya negara ini tidak segera tampak. Cita-cita membentuk negara sendiri mada masa lalu segera dibentuk dengan tergesa-gesa. Dua negara kemudian muncul dan saling berebut kekuasaan: negara republik yang baru lahir dan negara kolonial Belanda yang ingin kembali berkuasa (Anderson, 2000).

Sejak zaman revolusi, beberapa jabatan dan fungsi beamtenstaat telah diambil alih oleh kalangan baru yang tidak memiliki kedudukan pada masa kolonial: kyai, kaum muda dan orang awam buta huruf yang menduduki jabatan komando militer setempat. Keadaan ekonomi yang terpuruk sejak masa revolusi, perpecahan wilayah akibat kebijakan militer Jepang, konfrontasi politik antara partai-partai besar dan adanya pemerintahan demokrasi terpimpin di masa pemerintahan Sukarno mengakibatkan menguatnya posisi militer di Indonesia. Kemungkinan itu muncul karena tentara dianggap netral dan tertutup bagi kepentingan partai yang sedang saling bertikai. Kekuasaan besar yang dilimpahkan negara bagi militer mencapai puncaknya saat pembantaian yang dilancarkan terhadap pemberontak-pemberontak PKI. Operasi besar inilah yang mengangkat Sersan Suharto menjadi pemimpin militer yang berpengaruh dan menggantikan posisi Sukarno. Kerapuhan demi kerapuhan yang diderita negara telah mengangkat posisi Suharto beserta bala tentaranya untuk menetapkan kekuasaan melalui penertiban dan stabilitas negara yang guncang. Rust en orde kembali ditegakkan; kali ini lewat kepemimpinan militer bumiputera

Meskipun usaha penegakan rust en orde merupakan kebijakan yang logis dalam menyikapi situasi saat itu, akibat yang ditimbulkannya tidaklah main-main. Masuknya modal asing melalui kebijakan ekonomi semakin menyuburkan kekayaan para pegawai negara. Muslihat pemilihan pegawai pemerintahan yang dimanipulasi lewat pemilihan tidak langsung, pengawasan warga negara oleh aparat intel, doktrin dwifungsi tentara, sentimen rasis warga Cina, dan pemotongan partai-partai politik dirancang untuk menciptakan kemantapan kekuasaan Orde Baru atas nama stabilitas negara.

Selain itu, Orde Baru telah berhasil pula menciptakan wacana identitas kebangsaan yang bercorak esensialis (Ariel Heryanto, Kalam 3) yang mengklaim diri sebagai bangsa dengan nasionalisme yang khas Timur Indonesia (Pancasila) bukan Barat, alamiah, dan pribumi. Nasionalisme yang diwacanakan Orde Baru adalah nasionalisme yang menolak manusia sebagai individu, sekaligus menolak manusia sebagai identitas lintas bangsa. Individu ditolak otonomi dirinya sebagai manusia, dan dianggap melebur dalam masyarakat warga negara saja. Secara arbitrer manusia Indonesia dianggap bukan sebagai bagian dari suatu perlintasan dan percampuran global, melainkan dikungkung dalam kerangka negara-bangsa “Indonesia”. Percampuran dalam bentuk negara-bangsa ini dimanfaatkan penguasa untuk menentukan bentuk nasionalisme Indonesia; suatu jejak yang masih tampak tapak-tapak kolonialnya.

Bukankah sampai saat ini identitas “Indonesia” masih menunjukan watak diskriminatif pada sebagian anggotanya dan menunjukan dikotomi yang beku pada konsep ‘jati diri’ Timur yang asli dengan Barat yang asing? Tidakkah sampai saat ini pembentukan bangsa di tanah Indonesia masih dibayang-bayangi kekuasaan negara yang represif? Aceh, Papua, Sulawesi, Maluku sampai saat ini tidak berhak menentukan proses kebangsaanya sendiri; mereka dipaksa masuk dalam bagian teritorial warisan kolonial Hindia, dan menyebut gerakan-gerakan yang mereka lakukan sebagai suatu Gerakan Pengacau Keamanan, “anti-integrasi”, bahkan “anti-nasionalis”. Bahkan orang-orang Cina masih saja dibedakan dan diperlawankan dengan istilah-istilah pribumi dan non pribumi.


Watak kolonial memang selalu membayangi setiap bangsa yang pernah merasakan bentuk penjajahan, dan tidak terbatas pada para birokrat negara saja. Dalam prakteknya, bayang-bayang ini bukanlah sesuatu yang semu dan tipuan mata semata, melainkan nyata dan bisa dimiliki setiap manusia yang tidak mau melihat bahwa ada kenyataan lain yang semestinya dipahami, yaitu identitas-identitas (individu, komunitas, bangsa-bangsa) yang sebenarnyalah selalu berubah.

SASTRA MELAYU-TIONGHOA DI MATA SEORANG TIONGHOA MUDA

Oleh Andreas Susanto


Perhatian publik sastra saat ini tampaknya tertuju pada bangkitnya genre sastra Tionghoa, tepatnya Melayu-Tionghoa, kembali ke kancah sastra Indonesia modern. Ini adalah kalimat pembukaan dari sebuah catatan yang ditulis oleh seorang pemerhati sastra. Pertanyaan awam yang segera muncul, benarkah ada gejala kebangkitan itu, dalam artian munculnya sejumlah karya baru yang mengikuti genre tersebut. Sementara yang terlihat adalah diterbitkannya kembali sekumpulan karya sastra Melayu-Tionghoa masa lampau. Menarik untuk melihat bagaimana ragam pandang terhadap kemunculan karya-karya lama itu.

Bila pada masanya sastra Melayu-Tionghoa dipandang rendah dan diperlakukan bukan sebagai bagian dari sastra Indonesia, apakah setelah sekian dekade lalu tiba-tiba pandangan dan perlakuan itu telah berubah? Kiranya perlu dipahami bahwa sebelum Orde Baru pun, keberadaan sastra Melayu-Tionghoa sudah dipandang sebagai bentuk keengganan atan bahkan resistensi etnis Tionghoa untuk melebur ke dalam masyarakat pribumi. Oleh karena itu, sebagian besar budayawan dan sastrawan pribumi turut mendukung politik marginalisasi terhadap sastra Melayu-Tionghoa. Dengan demikian, sejak awal, pandangan dan perlakuan terhadap sastra Melayu-Tionghoa amat terkait dengan politik etnisitas, masalah pri-nonpri dan diskriminasi rasial. Agak sulit membayangkan terjadinya perubahan radikal yang begitu drastis setelah selama lebih dari tiga dekade kita berada dalam dominasi ideologi pembauran yang mengharuskan lenyapnya identitas ketionghoaan di negeri ini. Meskipun demikian, harus diakui bahwa kita juga melihat ada upaya untuk membangun perspektif yang lebih positip terhadap keberadaan sastra Melayu-Tionghoa dalam sejarah perkembangan sastra di Indonesia, di tengah-tengah munculnya kesadaran baru dalam melihat masalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa setelah Tragedi Mei' 98.

Penerbitan kembali karya sastra Melayu-Tionghoa tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks politik pasca lengsernya Suharto, dimana ada tendensi untuk mengembalikan hak budaya masyarakat Tionghoa. Selama era Orde Baru, segala yang bernuansa Tionghoa ditekan ke dalam proses pemusnahan (cultural genocide) yang diberi nama “Pembauran”. Di satu pihak, kemunculan reproduksi itu dapat dilihat sebagai cermin perubahan kebijakan politik terhadap etnis Tionghoa. Di pihak lain, ia menyingkapkan suatu politik identitas meski tidak sekentara dan segegap-gempita sepak terjang Barongsai.


Namun, politik identitas boleh jadi lebih merupakan mainan para aktivis Tionghoa yang berpandangan integrasionis daripada sebagai bagian dari kesadaran kolektif etnis Tionghoa yang heterogen. Pengungkapan kembali sastra Melayu-Tionghoa yang diterbitkan antara tahun 1870 sampai 1960 lebih merupakan upaya untuk memperoleh pengakuan sosial bahwa budaya Tionghoa juga merupakan bagian dari kebudayaan bangsa (daripada sekadar mengingatkan bahwa sebuah genre sastra Melayu-Tionghoa pernah ada dan berkembang pesat). Begitu kuatnya upaya itu hingga dalam ungkapan yang high profile, seorang aktivis Tionghoa menuliskan dalam bukunya (Tionghoa Dalam Pusaran Politik) bahwa pengarang Tionghoa sebenarnya telah menjadi pelopor dan memainkan peranan yang sangat penting dalam mengisi khasanah sejarah kesastraan di Indonesia. Padahal, seperti diakui pengamat sastra Al-Fayyadi, amat sulit menemukan kajian komprehensif yang membahas bagaimana genre sastra Melayu-Tionghoa dan genre sastra Indonesia saling berhubungan secara timbal-balik. Dari sisi ini, kita dapat melihat bagaimana penerbitan karya sastra Melayu-Tionghoa memiliki tujuan yang searah dengan penerbitan buku Arus Cina-Jawa-Islam, yang ingin menunjukkan bahwa etnis Tionghoa memainkan peran yang penting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa. Sebelumnya, buku-buku yang membahas posisi etnis Tionghoa secara kritis tabu untuk dipublikasikan. Bahkan, Pramudya Ananta Toer sampai dipenjarakan karena bukunya Hoakiau di Indonesia.

Di luar komunitas sastra, terutama di kalangan generasi muda Tionghoa, kehadiran kembali karya sastra Melayu-Tionghoa nampaknya memang lebih dilihat sebagai pertanda akan adanya pengakuan terhadap ekspresi budaya Tionghoa seperti halnya kemunculan kembali barongsai di arena publik. Sedangkan, sisi substansi sastranya sendiri nampaknya tidak berbeda dengan generasi muda non-Tionghoa yang sama-sama dibesarkan dalam era globalisasi. Sulit dibayangkan, mereka akan sungguh tertarik atau menikmati karya best-sellernya Kwee Tek Hoay, Boenga Roos dari Tjikembang, misalnya, atau cerita Siti Nurbaya dari Marah Rusli. Kemunculan kembali karya sastra Melayu-Tionghoa mungkin lebih menarik perhatian kalangan terbatas, yaitu mereka yang menaruh minat khusus pada perkembangan sastra atau yang ingin mengkaji genre ini secara serius. Dengan kata lain, usaha untuk mempopulerkan kembali karya sastra Melayu-Tionghoa di luar komunitas sastra atau di kalangan generasi muda Tionghoa akan berhadapan dengan arus jaman.


Menarik, untuk mengetahui apakah kehadiran karya sastra Melayu-Tionghoa itu akan membangkitkan minat generasi muda Tionghoa untuk menekuni bidang sastra di tengah-tengah stigma bahwa etnis Tionghoa hanya tertarik mengembangkan bidang bisnis semata. Apakah kehadiran sejumlah karya sastra Melayu-Tionghoa akan dapat menyegarkan kesadaran mereka bahwa meskipun di masa lalu, kebanyakaan anggota komunitas Tionghoa bergiat dalam dunia perdagangan, toh ada apresiasi yang tinggi terhadap kesusastraan (terlihat dari perkembangan sastra Melayu-Tionghoa selama seabad yang memunculkan jumlah pengarang dan karya yang luar biasa)?

Tentu saja, kepedulian akan apresiasi terhadap kesusasteraan pada hakekatnya tidak berkaitan dengan latar belakang ras. Masyarakat yang maju dan sejahtera di mana pun, pada umumnya, ditandai pula oleh tingginya penghargaan terhadap kesusasteraan. Oleh karena itu, genre sastra mestinya juga tidak harus memiliki kaitan dengan ras. Andai dikemudian hari mulai banyak anak muda Tionghoa yang menaruh minat untuk menulis karya sastra, rasanya, itu tidak berkaitan dengan bangkitnya genre sastra MelayuTionghoa. Hanya karena kebetulan mereka disebut Tionghoa -walau tidak lagi jelas budaya Tionghoa seperti apa yang masih lekat dalam kehidupan sehari-hari mereka-, tidak lalu serta-merta mereka akan melahirkan karya sastra yang eksklusif, yang memiliki ciri atau karakteristik ketionghoaan. Dengan begitu, pengembangan kesusastraan di kalangan etnis Tionghoa bukan lagi menjadi bagian dari politik identitas, apalagi etnisitas, melainkan bagian dari pengembangan sisi kemanusiaan kita bersama.

Idiologi Jilbab

Oleh Sahat Br Saragi


Manusia pada dasarnya adalah unik. Karakter antara manusia satu dengan manusia lainnya amat berbeda. Terkadang, perbedaan itu bisa dirasakan keindahannya, yang pada akhirnya memunculkan damai dalam keragaman. Seperti slogan militer, damai itu indah. Namun yang kerap terjadi perbedaan itu justru memunculkan perbedaan yang sengit. Bukan saja dalam bidang politik, untuk urusan perut saja perbedaan dijadikan alasan, untuk men-stigma orang sebagai pendosa. Manusia tidak akan sama selamanya. Orang yang jahat bisa berubah menjadi baik, orang yang baik bisa berubah menjadi sangat baik atau berubah menjadi orang yang jahat. Seperti apa yang diungkapkan Feurbach, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.


Dalam suatu falsafah kehidupan pun muncul perbedaan. Seperti dalam Islam mewajibkan muslimah untuk menggunakan jilbab. Jilbab adalah suatu keharusan, terlepas dari pemaknaan dia terhadap jilbab itu sendiri. Di kalangan muslimah postmo, melihat jilbab adalah suatu aturan yang tidak boleh dilanggar, namun sebagai manusia dia ingin terus ber-metamorfosis, mengikuti trend yang sedang in. Muncul apa yang dinamakan jilbab gaul, berjilbab tapi tetap funky. Ada juga muslimah yang secara kultural menilai jilbab adalah bagian dari bentuk hubungan transenden antara dia sebagai manusia dengan Dia yang menjadi Tuhan. Yang pada akhirnya memunculkan ekslusifitas dalam habluminannas. Bisa dilihat bagaimana proses kultural yang terjadi antara muslimah yang memiliiki kesamaan dalam simbol yang dimunculkan. Atau muslimah yang menggunakan jilbab karena tradisi yang dibangun oleh lingkungannya.

Kedua hal tersebut tentunya melalui sebuah proses, manusia akan terus mencari makna dia sebagai manusia, di tengah kehidupan bermasyarakat. Alasan seorang muslimah menggunakan jilbab tidak sama dengan muslimah lainnya. Ada muslimah yang menkaffahkan dirinya sebagai muslimah berdasarkan hidayah yang didapatkannya. Dan tidak bisa dinafikan muslimah yang menggunakan jilbab secara kultural. Karena orangtuanya haji, maka akan tidak etis jika anak perempuannya tidak menggunakan jilbab. Atau karena belajar di pesantren, maka mau tidak mau harus mengenakan jilbab. Banyak hal yang melatarbelakangi proses muslimah menggunakan jilbab. Satu persatu alasan yang menjadi dasar penggunaan jilbab tak bisa kita katakan salah, ataupun benar. Selama seorang perempuan mengaku sebagai islam/muslimah, maka dia wajib mengenakan jilbab. Namun, peletakkan makna wajib pada jilbab secara materil ataukah jilbab secara keseluruhan .yang membentuk pribadi manusia ?

Masyarakat menilai setiap muslimah yang mengenalcan jilbab sebagai perempuan baik-baik. Hal ini dilandasi suatu aturan dalam buku suci yang menjadi pegangan dalam kehidupan. Dan penilaian itu akan berubah ketika perempuan yang pernah menggunakan jilbabnya untuk melepas jilbab. Retardasi iman, stres ataupun membuka jalan menuju kekufuran. Hal itulah yang kerapkali terlontar ketika seorang muslimah melepas jilbab.


Manusia dalam perjalanan spirituilnya akan melakukan suatu evolusi. Begitupun dengan karakter muslimah tanpa jilbab. Indonesia sebagai sebuah negara mendapatkan pengakuan internasional sebagai negara terbesar yang penduduknya memeluk agama Islam. Jumlah penduduk yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia mayoritas perempuan. Jika menggunakan analogi ini, maka seharusnya industri kecil yang memproduksi jilbab tidak akan gulung tikar. Kalangan buruh yang mayoritas perempuan yang bekerja pada industri tekstil sedikitnya memiliki harapan pekerjaan tetap.

Tapi apa yang terjadi di lapangan ? Makhluk berjenis kelamin perempuan yang mendominasi jumlah penduduk di Indonesia tidak semuanya mengenakan jilbab. Bukan lantaran ketidakmampuan memiliki jilbab. Ada suatu aturan masyarakat yang amat, kejam, disadari atau tidak telah memasuki ruang privat terhadap perempuan yang mengenakan jilbab. Lantaran jilbab itu telah meniadi simbol dalam idiologi.

Kita bisa masuk dalam ruang kondisi makna yang dikonstruk dan dibawa oleh bentuk simbol dalam berbagai variasi yang cenderung membangun dan mempertahankan relasi dominasi dalam sebuah idiologi. Jilbab, merupakan sebuah identitas yang ditonjolkan, membedakan antara perempuan Islam dengan perempuan bukan Islam. Pernah ada suatu cerita, yakni seorang ibu-ibu yang mampir ke sebuah warung makan. Lantaran lapar, dia memesan makanan tanpa bertanya makanan yang dipesannya terbuat dari apa. Lantas pelayan tersebut mengantarkan makanan yang telah dipesan ke meja tempat ibu itu duduk, namun makanan hanya dipegang saja, tidak langsung disajikan. Ibu tersebut merasa kesal dengan ulah pelayan lantas menghardiknya. Namun pelayan tetap diam, memegang piring berisi makanan seperti semula. Tidak menyaj ikan pada ibu tersebut clan kemudian bertanya agama yang dianut oleh ibu itu. Setelah ibu menerangkan dengan kesal, pelayan menjelaskan bahwasanya makanan yang terhidang di sini mengandung minyak babi, dan setahunya orang yang beragama Islam dilarang untuk memakan makanan yang mengandung babi.

Dari secuil kisah di atas, kita dapat menunjukkan bagaimana makna yang dikandung dalam sebuah simbol dapat membangun dan mempertahankan relasi dominasi, dengan mengembangkan peran yang dimainkan bentuk simbol tersebut serta dampaknya pada ' kehidupan individu yang menjadi objek penggunaan bentuk simbol tersebut. Bisa jadi si Ibu tidak jadi memakan makanan yang mengandung minyak babi, karena dilandasi kesadarannya memakan makanan apapun yang mengandung minyak babi adalah haram. Interpretasi yang dimunculkan menjadi bukti ke-Islaman-nya.


Jilbab bukan sekedar interpretasi. Siapapun perempuan yang mengenakan jilbab sah-sah saja mendapatkan predikat baik dari masyarakat. Namun akan sulit bagi perempuan yang lantas mendapatkan nilai sebagai perempuan buruk lantaran pernah mengenakan jilbab kemudian menemukan kesadaran untuk melepasnya. Jika jilbab menjamin terbebasnya manusia terhadap segala bentuk penindasan atas manusia lainnya, pakailah jilbab. Sayangnya jilbab menjadi simbol dalam konsep idiologi dan mengidentifikasi beberapa konsepsi dasar idiologi yang dimunculkan lantas memberikan ambiguitas pemaknaan jilbab dalam idiologi.

Ruang Publik

Oleh : Peter Johan


Aku melirik jam tangan.

Sudah jam lima lebih duapuluh menit. Tapi Nien belum juga muncul. Biasanya paling tidak jam lima lebih limabelas ia sudah tiba di sini. Mungkin ia masih sibuk dengan pekerjaan kantornya yang menyisakan sedikit lagi tugas.

Kantor kami berseberangan. Di halte ini biasanya kami janji bertemu untuk pulang bersama-sama. Semua diawali dengan sebuah ketidaksengajaan, ketika peristiwa petang itu mempertemukan kami. Aku dan Nien yang kebetulan sedang menunggu bus menyaksikan seorang lelaki tua tertabrak motor yang sedang berlari kencang membelah kemacetan. Kami berdua tak lagi berpikir panjang. Segera saja aku bersama Nien melarikan lelaki tua itu dengan taksi ke rumah sakit terdekat.

Perkenalan pun tak terelakkan. Menunggu hasil dari rumah sakit bersama kerabat dari si lelaki tua, menunggu proses dari kepolisian, dan menunggu jatuhnya malam ke dalam pelukan sang dewi. Waktu di antara kami terpampang begitu luas, tanpa cakrawala yang membatasi. Hanya bicara dan saling bersapa setelah sekian lama terbingkai dalam kerumunan halte di petang hari. Tapi naas, lelaki tua itu harus menghembuskan nafasnya di rumah sakit tanpa tahu siapa yang menabraknya.

Kami sedikit terpukul, terutama Nien. Beberapa hari lamanya aku tak melihat Nien. Mungkin ia sedang berusaha memahami semuanya. Aku sendiripun tak kuasa untuk menghilangkan rekaman peristiwa itu detik demi detik. Si lelaki tua, sebuah kilatan dari motor yang begitu cepat, dan genangan darah dari kepala si lelaki tua. Aku bergidik. Tapi semua begitu cepat dilupakan. Halte ini masih berdiri, lengkap dengan keramaian di setiap petangnya, di mana manusia-manusia pekerja yang keluar dari gedung-gedung pencakar langit memenuhinya. Tak ada kulihat secuilpun kedukaan yang tersisa.

Butuh empat hari bagi Nien untuk kembali memunculkan dirinya di tengah-tengah halte ini. Ia terlihat lebih segar dan bersahaja. Rajutan waktu yang terhampar di antara empat hari begitu membekas pada dirinya. Kami bertatapan, saling memayungi di antara kerumunan manusia-manusia kota.

“Maaf, Sam. Aku terpaksa harus mengistirahatkan diri barang sejenak. Darah itu…si lelaki tua…semuanya mengiang-ngiang”, katanya di petang itu.

Aku mengerti maksud dan ucapannya. Keberaniannya saat mengangkat kepala si lelaki tua di petang itu bukan semata-mata muncul dari keberanian yang terdefinisikan. Ia hanya keberanian yang ambigu, keberanian yang muncul sesaat. Keberanian yang tercerabut paksa dari kerumunan manusia-manusia yang begitu lelah setelah seharian dipaksa bergumul dengan kertas dan angka. Semacam spontanitas atas kedaulatan kesadaran manusia, walau itu hanya sisa-sisa dari kesadaran manusia-manusia mekanik. Keberanian seorang perempuan yang berdiri tegak di antara sistem dunia laki-laki. Aku salut padanya.

Aku sendiri tak begitu paham mengapa aku begitu kuat menghadapi kajian-kajian yang memenuhi otakku atas peristiwa tragis petang itu. Sebagian diriku berucap syukur atas peristiwa petang itu, karena ia telah begitu baik memperkenalkan Nien padaku. Harus kuakui, aku telah mengamatinya jauh sebelum peristiwa petang itu. Biasanya kami naik bus dengan jurusan yang sama, di mana ia turun beberapa blok sebelum perhentianku. Tapi semua itu tak cukup bagiku untuk mendapatkan kekuatan, bahkan kekuatan untuk menanyakan namanya. Dan peristiwa petang itu merubah segalanya, melompati kekuatanku sendiri.

Haruskah aku berterima kasih kepada si lelaki tua? Atau mungkin kepada si pengendara motor? Atau boleh kukatakan pucuk dicinta ulam tiba?

Entahlah. Yang pasti, peristiwa petang itu telah menghapus jarak antara aku dan Nien. Kami menyempatkan waktu luang untuk bersama. Menghabiskan waktu makan siang di tempat-tempat yang tak begitu ramai. Berbincang, bersenda gurau, dan meluapkan semua kekesalan atas dunia kerja yang begitu membuat penat. Di petang hari kami biasa bertemu di halte ini. Aku mulai memberanikan diri untuk mengantarkannya pulang sampai depan pagar rumah dan menjemputnya lagi esok pagi. Tak ada sedikitpun tanda dari perempuan itu untuk menolak.


Sementara peristiwa petang itu semakin terlupakan dan terhanyut bersama denyut halte yang tak pernah berhenti merekam setiap jengkal langkah manusia-manusia pekerja. Penggal waktu yang telah terburai dalam waktu yang semakin mendekatkan aku dengan Nien.

Aku kembali melirik jam tanganku. Sudah setengah jam dari pukul lima, dan Nien masih belum terlihat. Seperti biasa, pagi tadi ia berangkat bersamaku. Tak sedikitpun ia terlihat sakit atau menampakkan kelelahan mekanisme tubuh. Tak ada yang aneh dari dirinya kecuali perbincangan tentang peristiwa petang itu.

“Ini sudah dua minggu ya, Sam”, katanya di atas bus pagi ini.

“Dua minggu? Apanya yang dua minggu?”, sahutku tak mengerti.

“Kau lupa? Betul-betul lupa? Dua minggu yang lalu kita menyaksikan kematian si
lelaki tua. Masakkan kau tak ingat sedikitpun?”.

“Ah, ya. Tapi bukan si lelaki tua yang ada dalam ingatanku. Yang kuingat dari peristiwa dua minggu lalu adalah saat di mana pertama kalinya aku diperbolehkan oleh realitas untuk menyapamu dalam kata”.

Dan Nien tersipu sembari mengembangkan senyum tipisnya, senyum milik kehadiran seorang perempuan yang sepertinya telah begitu lama kukenal.

Ya, aku tersadar. Selain Nien dan keluarga si lelaki tua, tentunya tak ada lagi yang mengingat peristiwa petang itu. Bahkan aku tak lagi mengingat peristiwa petang itu sebagai sebuah tragedi. Benakku berkata, peristiwa petang itu adalah kebetulan riil yang mengijinkanku menjamah segala ketidakmungkinan. Juga halte dan seluruh isinya.

Mungkin juga orang-orang yang membangun halte dan jalan ini. Mereka telah melupakannya, bahkan tak sedikitpun berusaha mengenang. Si lelaki tua telah terlupakan bersama serpihan debu-debu jalan yang terbang tanpa tujuan.

Aku mulai resah. Tapi nalarku masih berkuasa dengan baik. Akan kutunggu beberapa saat lagi, mungkin ia masih tertahan dengan beberapa pekerjaannya. Aku mengalihkan perhatian pada kerumunan orang-orang di halte ini. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang pekerja yang setiap petangnya berduyun-duyun turut memenuhi halte ini.

Beberapa wajah tak asing untukku. Kuputar lagi perhatian. Beberapa remaja tanggung dengan seragam putih abu-abu, dan dua orang pedagang gendong turut dalam kerumunan.

Perbincangan antar para pedagang itu menarik perhatianku. Jarak mereka yang tak lebih dari setengah meter memungkinkanku untuk bisa ikut mendengarkan pembicaraan mereka.

“Kau tahu, ia habis dipukuli orang-orang sini”, kata si pedagang rokok.

“Memangnya apa yang dicopet?”, tanya si pedagang koran.

“Biasalah. Hanya sebuah dompet”, jawab si pedagang rokok lagi.

“Kapan kejadiannya?”, tanya si pedagang koran dengan wajah antusias.

“Kemarin siang, saat jam makan siang. Si pencopet kelihatannya tahu betul jam makan siang adalah jam operasi yang bagus”, kata si pedagang rokok terkekeh.

“Lalu?”, sambarku ingin tahu.

Aku melebur dalam obrolan mereka. Tapi ternyata aku tak sendirian. Beberapa orang mulai ikut terlibat dalam perbincangan itu. Kami berkerumun mendengarkan cerita si pedagang rokok tentang seorang pencopet yang tertangkap basah saat sedang menjalankan tugasnya. Dengan mimik mukanya yang serius, ditambah gerak tubuh kakunya, si pedagang rokok menceritakan bagaimana si pencopet habis dipukuli orang-orang yang sedang berada di halte. Katanya lagi, pencopet itu mati mengenaskan dengan kepala pecah terhantam batu aspal.

Edan! Batinku berseru. Dan baru hari ini aku tahu bahwa kemarin ada orang mati di halte ini. Mengapa tak ada ucapan belasungkawa? Mengapa begitu mudahnya sebuah nyawa melayang tanpa bisa dimaknai sedikitpun keberartiannya? Terlalu cepatkah perputaran roda waktu hingga gilasannya tak memberikan sejarah pada ruang-ruang yang tak bersentuhan dengan kekuasaan? Edan! Edan! Dunia ini tak lagi waras, tetakku dalam hati sembari meringis.

Aku mengangkat kepala. Ketidakmengertian masih memenuhi kepalaku ketika suara decit ban mobil mengagetkanku. Beberapa orang bergegas menghampiri untuk melihat apa yang terjadi. Ada yang tertabrak! Ada yang tergilas! Tabrak lari! Suara demi suara saling menindih memenuhi kerumunan halte ini. Tak butuh lebih dari dua detik bagiku untuk segera beranjak melihat apa yang terjadi.

Aku terkesiap. Mataku tertumbuk pada sebuah tas tangan hitam yang begitu kukenal. Bukankah tas tangan yang tergeletak di dekat trotoar itu milik Nien? Cepat-cepat kubelah kerumunan yang menutupi seseorang yang tergolek di aspal jalan. Darahku berhenti. Sebuah ketakutan luar biasa mengungkungiku. Mata nanarku melekat kuat pada tubuh bersimbah darah itu.


Ah, Nien. Mengapa kamu harus terlambat keluar kantor?

Jakarta, Maret 2004…sang kebetulan!!!

Membaca Linda:Sebuah Upaya Memaknai Perjalanan Ingatan

Oleh Cindy Hapsari


Mengapa sebuah karya patut atau paling tidak menjadi perlu untuk diapresiasi? Tentu, jawaban kita berbeda-beda. Yang jelas, tidak ada salah satu di antara kita dapat memaksakan tafsir dan penafsiran atas sistem tanda yang seolah-olah bergerak masuk menelikung, kemudian bersemayam pada keyakinan setiap manusia. Misalnya, ada yang berkata, “Saya membeli buku ‘Kuda Terbang Mario Pinto’ karena ingin mengenang kembali pegasus kecil dan sama sekali bukan karena Linda Chrystanti, si pengarangnya.” Apa yang dapat kita katakan? Tentu, kita hanya akan tersenyum sambil berharap semoga si empunya berhasil mendapatkan apa yang ia cari.

Tak ada yang salah. Jelas, tak ada yang salah karena makna bersifat arbriter. Ia semena-mena. Bahkan, Tuhan bisa tewas dalam sekejap dalam genggaman jari-jari kita. Tentu saja, itu terjadi bila kita memang sungguh-sungguh menginginkannya. Sama seperti Nietzshe, kita bisa sangat berkuasa atas apa saja. Sebab, memang ada kedaulatan berpikir atas manusia selain tentunya ada juga aspek-aspek yang mengatasi kesadaran yang menjadi standar nilai di dalam mekanisme kehidupan itu sendiri. Dan, makna bergerak sekaligus bersamaan dengan sistem tanda dan tentunya juga berbarengan dengan bagaimana kekuasaan yang ada di sekeliling pemaknaan itu bekerja. Maka, ketika sebuah karya berhasil menerobos sistem pasar, dan telah berhasil menunjukkan kemampuannya menancapkan kuku di ruas-ruas ranah publik, ini menjadi hal penting dan patut kita bicarakan. Sebab, sebuah karya atau sesuatu -apapun itu-, ketika berada di ruang itu, akan memperoleh kembali haknya yang hilang untuk, minimal, dimaki.

Apa pentingnya pemaknaan? Dan, apa pentingnya kita membicarakan apa pentingnya pemakanaan di sini? Ah, tentu kita harus merelakan tak sedikit waktu buat ini. Sebab, ini sama halnya dengan persoalan pasca membaca, pasca melihat, dan pasca memilih.Jelas, semua memiliki konsekuensi. Membaca adalah hal yang mudah, tetapi memaknai adalah kerja yang menguras energi beberapa kali lipat dari pada sekedar membaca. Dalam memaknai, kita dipaksa untuk mampu merekonstruksi pemahaman. Sementara, konstruksi pemahaman sudah terlalu lalu-lalang dalam kehidupan. Kita masih pula diharuskan untuk menetapkan pilihan atau bagian mana yang kita percayai. Pemaknaan mengandaikan pemahaman meski dalam banyak hal memahami berarti ‘berdamai’. Tetapi, kita memperoleh tuntutan untuk menyatakan gagasan sampai pada batas pemaknaan. Sehin gga, sistem pemaknaan juga adalah usaha keberpihakan. Sebuah tindakan politis dari tubuh kehidupan kita.

Bagaimana kedudukan karya? Dalam hal ini, karya sastra. Sebuah kumpulan cerpen `Kuda Terbang Mario Pinto` karya Linda Chrystanti. Apa perlunya, kita melakukan usaha pemaknaan dalam hal ini? Apa menariknya seorang Linda Chrystanti denga`Kuda Terbang`nya?

Karya merupakan kumpulan sistem tanda yang dalam hal ini menggunakan bahasa non verbal sebagai medium utamanya. Bahwasanya, tulisan (cerpen) adalah media yang dipilih Linda Chrystanti untuk mentransformasikan realitas yang berkembang disekitarnya. Sementara, bahasa sebagaimana kita ketahui adalah sebuah pernyataan sikap. Itu adalah hal paling mudah yang dapat kita identifikasi. Meski demikian, ia sesungguhnya adalah alat mobilisasi peran yang paling efektif yang dapat digunakan untuk mendukung sebuah program kerja –jelas politis. Kerja-kerja ini mengharuskan kita untuk mau mempelajari teks-teks budaya yang berkembang dan sekian kemungkinan yang dihasilkannya. Pada bahasa ada, gerak perlawanan sebagai sebuah upaya merenkonstruksi realitas melalui pernyataan yang diamini sang pengarang (author). Bahwasanya, d i dalamnya, termaktub paham nilai yang jika di-metafora-kan akan menjadi bendera yang dikibarkan si pengarang. Pada Linda, kita akan mengidentifikasi kecenderungan yang ada sekaligus menjawab bagaimana konsistensinya dalam hal tersebut.

Yang akan kita gunakan sebagai tonggak -tolakan berfikir- adalah asumsi bahwa karya Linda sepenuhnya bertutur dengan gaya psikologi non medik. Hal ini dapat dengan mudah kita lacak melalui permainan kata yang digunakannya. Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana sikap Linda sebagai author atas bahasa.


Sastra-karya, sebagaimana fungsi kerja dalam kehidupan, sudah sejak awal berdiri di antara silang lintas paham. Tetapi, sebagaimana kita memahami dialektika triadik (triad dialectic) Berger; korelasi antara internalisasi, eksternalisasi dan objektifikasi menjembatani ruas-ruas persoalan yang ditimbulkan oleh pemahaman binner. Konsepsi dialektika triadik ini menjadi jalan keluar di antara pertentangan binner. Ini semacam sintesa atas logika yin-yang yang menggenapi korelasi kontradiktif. Sehingga, kini tidak menjadi penting, pernyataan –pun sekaligus pertanyaan-; misalnya, apakah sastra merupakan representasi hidup atau just ru sebaliknya. Dengan dialektika triadik ini, kita diajarkan untuk tak menafikkan unsur kesejarahan dalam turbulensi kehidupan seorang pengarang. Bahwa sesungguhnya, ada hal penting di balik sebuah kerja: bahwa hakikat menjadi sebuah dasar, das sein yang bukan beban atau kemudian sering kita dengar dengan sebutan cemooh `tugas mulia manusia` yang kemudian memang menjadi sebuah keharusan yang wajib. Wajib pada aras ini, diartikan sebagai sebuah bagian yang tak mungkin terpenggal dari tubuh sosial manusia. Bahwa kerja dan karya memiliki implikasi logis secara sosial, yakni pemenuhan kesadaran sebagai seorang manusia yang mampu memanusiakan dirinya maupun sekelilingnya. Dalam bahasa mudahnya, adalah, kesatuan/penyatuan makro dan mikro kosmik menjadi sebuah harmonisasi yang dialektis.

Dengan itu, kita akan mampu membedah kedirian sebuah karya tak terlepas dari teks maupun konteks yang menghinggapinya.

Untuk itu, sungguh sangat membantu, misalnya strukturalisme genetik yang dikembangkan Lucien Goldmann : bahwa untuk menjabarkan sebuah kedirian karya kita akan sampai pada satu pemahaman yang lebih baik apabila kita mampu merangkum kisi-kisi struktur karya, memahami subjek atau individu di belakang karya tersebut sekaligus paham pandangan dunia yang melingkupi karya tersebut. Nilai yang ditransformasikan dalam karya akan terungkap melalui intimasi dengan teks dan konteks yang dibangun berdasar kesadaran. Sehingga, tidak ada lompatan ekstrem yang meninggalkan lubang gelap dalam struktur sejarah maupun kebudayaan kita yang berkembang. Dengan metode ini, kita bisa tetap berjaga-jaga untuk sekedar sadar di tengah berbagai kemungk inan. Dalam kepungan kesunyian, misalnya.


“Mereka siap menjadi lupa”

Ini adalah kalimat yang diucapkan seorang ibu dalam cerita pendek (cerpen) `Qirzar` karya Linda Chrystanti (h.110). Sebuah cerpen yang berkisah mengenai para manusia yang berlomba untuk menjadi lupa. Mereka yang mengejar Qirzar dari Aqtar, minuman lupa yang dapat melumat dukakala kehidupan. Meluluh-lantahkan ingatan pedih kenyataan yang tak lagi tertanggungkan. Hingga, tubuh adalah semata ruang bagi jiwa yang tercerabut dari akar kesejarahannya.

Tetapi, benarkah kita siap menjadi lupa? Dalam The Book of Laughter and Forgetting, Kundera menyebutkan `perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa`. Ini menjadi semacam kisah manusia melawan takdir. Seperti mati, manusia juga diletakkan dalam kerangka renta meski kokoh di sisi lain tentunya. Dalam perjalanannya itu, terekam keping sebuah catatan –yang tak berbatas nilai kuantitatif dan kualitatifnya.. Memori dan iklim bawah sadar, tempat cendawan kejutan bermukim subur. Hingga, tiap kemungkinan tak mengenal kata tak mungkin.

Dan, demikianlah hidup manusia. Adakalanya, harddisk yang perlu di-defrag, begitu juga manusia. Ada kehendak merunut. Ada kehendak menjabarkan. Ada kehendak memaknai
rajutan awal dalam memori. Merangkai kembali akar kesejarahan. Demi sebuah ke-menjadi-an meski berada di tengah bayangan keretakan yang abadi sekalipun.

Dalam kaitannya dengan karya, `mereka siap menjadi lupa` adalah pernyataan menarik yang dapat digali. Hal ini mengingatkan penulis untuk segera mengkorelasikan cerpen-cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen `Kuda Terbang Maria Pinto` (selanjutnya disebut dengan KTMP) karya Linda Christanty dengan fenomena intertekstual yang ada. Misalnya saja, kaitan aleniasi sebagai imbas modernitas dengan gejala menjadi lupa yang merupakan subordinans yang terekam dalam perjalanan manusia sebagai seorang warga negara dari kelas yang terjajah.

***

Indonesia dalam kerangka negara bangsa hingga kini memiliki catatan panjang sejarah merah. Ini merupakan alur yang bersifat sangat kompleks. Indonesia adalah negara bangsa dengan struktur dan akar kesejarahan yang anonim. Mengapa demikian? Hal tersebut tak lain berkait dengan bentukan tak selesai yang tercecer dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kemudian, berbicara status dan keberadaan Indonesia dalam lintang geopolitik global terkait juga, kerja-kerja kapitalisme Internasional setelah kita dikepung dalam kerja-kerja kolonialis-imprealis lewat penjajahan sebelumnya. Belum selesai kita petakan, kerja-kerja itu merangsak, dan berkembang menggurita. Beberapa catatan akan menjadi terlalu panjang untuk disebutkan disini. Konsekuensi riil yang tertangkap dalam jaring-jaring pemaknaan kita sehari-hari adalah lahirnya kekerasan struktural maupun kultural yang menge ndap berkat status kemiskinan (dalam berbagai aras) yang bergerak tak seimbang diantara lapisan masyarakat yang ada. Akibatnya, pembentukan subjek –individu- makin tercerabut dari kemenjadiaannya dan kekerbentukannya sebagai manusia dari sejarahnya (manusia yang menyejarah). Secara psikologis, hal itu terlihat dari pembentukan opini bawah sadar (stereotype) yang terlalu hitam, samar untuk diejawantahkan dan bahkan bergerak menjadi semacam gelombang dari bawah tanah (pusara) yang menerpa konsep pemenuhan diri itu sendiri. Ia dapat menjadi badai yang sewaktu-waktu dapat hadir dan meluluhlantakkan segala sesuatunya (penulis menyebutnya sebagai tikaman gelombang kesadaran hitam).

Realitas sendiri akan menjadi semakin semu ketika Rasa (dengan R besar!) sendiri menjadi terdomestifikasi. Realitas semu adalah kenyataan yang bergerak yang justru dalam beberapa
waktu terakhir, harus kita akui sebagai sebuah kenyataan bentuk (figurative reality). Hal ini bekerja sistematik dan bergerak berbanding terbalik 180 derajat. Ada lapisan sosial realitas yang mau tak mau harus diakui sebagai kenyataan yang menimpa pada ke-kini-an kita, di hari-ini kita. Sehingga, kalau Slank membawakan lagu `Terbunuh Sepi`, memang sesungguhnya itulah yang tengah mengepung kita.

gerimis di tengah malam
di tempat sedingin ini aku sendiri
dan tak ada lagi tempat berteduh
dan tubuh untuk ku peluk
sepi membunuhku…

(Slank)

Keruntuhan ini adalah manifestasi terbesar dari keterasingan yang telah merenggut harkat kemerdekaan manusia. Semata, bukan pada wilayah personal, tetapi sudah hinggap mewabah hingga ke relasi-relasi sosial yang kemudian menjurus ke konflik sosial. Dan, `menjadi lupa` adalah sebuah ambisi yang dapat menolong mereka dari tikaman gelombang kesadaran hitam yang sudah terlalu lama membeku dan membekap mereka. Anomali insight yang kemudian banyak disebut-sebut sebagai `penyakit modernitas’.

***

Dalam karya Linda, kita akan mencermati hal tersebut. Dari 12 cerpen yang dimunculkan dalam KTMP (Kuda Terbang Maria Pinto, Makan Malam, Pesta Terakhir, Lubang Hitam, Balada Hari Hujan, Danau, Lelaki Beraroma Kebun, Perang, Joao, Qirzar, Rumput Liar, Makam Keempat), kita akan dapat melihat bagaimana Linda memaknai memori kolektif yang terekam dalam gejolak-gejolak sosial yang terjadi selama proses pembentukan bangsa ini.

Misalnya saja, pada cerpen pertama `Kuda Terbang Maria Pinto` dan `Joao` yang mengambil ruang dan waktu dimana aspek psikologis dari seorang manusia prajurit dari satuan gugus depan harus memahami tugas dan kewajibannya. Bedanya, Kuda Terbang Maria Pinto mengambil setting Yosef Legiman. Seorang tokoh Laki-laki Jawa-Khatolik yang berangkat ke Timur-Timor demi menunaikan tugas keprajuritannya. Sementara Joao justru digambarkan sebagai seorang tentara milisi yang baru berusia 14 tahun. Meski pada Kuda Terbang Maria Pinto terlihat bias-mitologi yang kuat, kedua cerita tersebut pada dasarnya merekam bagaimana unsur-unsur kewajiban militer yang pada banyak sisi telah mengebirikan manusia sebagai subjek-individu. Bahwa telah terdapat kontrak yang tak terelakkan, keharusan yang ada adalah semata sebuah kewajiban. D an, hal tersebut, yang pada dasarnya adalah sebuah kebijakan atau instruksi struktural, menjadi mutlak dilaksanakan. Tidak ada lagi subjek-individu yang mahardika.


Pada tataran ini, manusia digambarkan menjadi semacam boneka yang hanya mampu mengikuti aturan main yang bahkan tidak ia buat. Kesadaran yang tak menjadi. Bahkan, begitu mengerikan logika-logika macam ini berkembang. Hannah Arendt, filsuf berdarah Yahudi yang pernah mengalami masa kekejaman Nazi, menyebutnya sebagai banality of evil. Sebuah keadaan di mana kejahatan yang mereka lakukan sepenuhnya diyakini sebagai suatu bentuk kerja yang tak dapat digubah lagi sifatnya. Disiplin adalah agama, dan ketaatan adalah iman. Yakni, sebuah usaha untuk menerima perintah tanpa sedikit pun mengenal kata penolakan. Kini, segalanya bergerak menjadi rutinitas yang termaklumi.

Tentu, kita tak akan berusaha berlama-lama di ruang ini. Sebab, yang kita bicarakan adalah bagaimana Linda menjabarkannya kesakitan-kesakitan jiwa yang terjebak dalam raga yang penuh dengan tekanan sistemik sehingga ia tak mampu menyatakan keutuhannya. Tentu saja, kita boleh menyebut dia berhasil dalam hal ini meski ia mengakui bahwa masih banyak kelemahan yang ada. Terutama, hal itu menyangkut karakter yang ia bangun lewat struktur bercerita. Terdapat beberapa lompatan yang agak naif disana selain pengenduran tema semata menuju pada konflik personal.

Di luar dua cerpen yang sudah disebutkan di atas, juga dapat kita temui jejak-jejak yang sama dalam `Qirzar`. Bahwa lupa yang diinginkan oleh masyarakat Aqtar adalah manifestasi dari luka fisik maupun psikis yang mereka alami. Hal itu bermula dari begitu biasanya darah tumpah di sekitar mereka, dan betapa kekerasan adalah simbol yang menjadi batu penjuru dalam hidup mereka. Mengenang begitu padatnya memori kolektif menerima kenyataan pahit itu, bawah sadar manusia yang terbelenggu membentuk sebuah tempat berlindung baru. Qirzar dari Aqtar dianggap menjadi penawar mujarab dari hati yang nelangsa. Ia adalah jawaban. Dan, usaha menggapainya adalah wujud kerinduan tak terperi kepada penolakan terhadap lalim. Linda sendiri menuturkan bentuk kerinduan itu dalam kalimat `Ia ingin berbicara pada pemimpin agar perang dilenyapkan dari sejarah negrinya agar orang ta k perlu menghapuskan semua ingatan terbaik mereka.’ Memang, mana ada manusia yang rela kehilangan ingatan terbaik mereka…. Sebab, di sanalah romantika di batas harapan dan impian singgah di kesadaran yang kini.

Catatan-catatan gelap yang tertinggal dalam memori kolektif kita sebagai seorang manusia Indonesia memang begitu kejam. Dalam `Pesta Terakhir`, Linda mengupas sebuah fenomena penghianatan. Tentang bagaimana kesadaran menjadi tersandera ketika realitas dan kisi-kisi hitamnya menjebak seseorang. Pada titik itulah, apapun dapat dilalui melalui sebuah lompatan-lompatan beresiko tinggi ketika kehendak untuk berkuasa begitu mengakar. Kisah ini bertutur tentang laki-laki yang menjual jasa. Ia penjual suara. Penjual kabar. Yang berkata tentang kenyataan yang berbeda. Tetapi, justru disanalah berhasil menyambung hidup. Dan justru merdeka. Di tengah himpitan kebutuhan.

Tampaknya, kenyataan yang tergadaikan ini menjadi tema utama yang mengusik Linda. Dalam beberapa karyanya yang lain, ia juga mengungkapkan hal yang sama. Kesakitan personal dari luka-luka dalam memori kolektif yang telah terlampau mengakar. Misalnya saja, `Lubang Hitam`. Dalam kisah itu, Linda berusaha menggambarkan skizofrenia-paranoia dari seorang tokoh perempuan bernama Rena ketika ayahnya, laki-laki yang menurunkan berkah darah dalam dagingnya sendiri, memperkosanya. Pada kisah itu, Linda masuk menggunakan penghayatan Electra. Yakni, sebuah kisah tragik tentang anak yang mencintai ayah kandungnya sendiri. Umpatan-umpatan tentang batas citra diri perempuan timbul tenggelam. Misalnya saja, bagaimana Tina, adik tokoh Rena, memaki-maki arwah
ibunya. Diatas pusara ibundanya, ia berkata “Ibu, kenapa perempuan harus punya lubang?”

Sisi kelam hitam itulah, yang pada satu titik menghasilkan konsekuensi berantai yang bersifat massif. Bahwa ikatan sistemik dari kecarutmarutan yang ada toh pada akhirnya menggarami individu-individu untuk menjadi semakin matang. Bukan matang dalam belaian kesadaran, tetapi matang pada tingkat psycosickness. Sebagaimana Linda tidak melakukan judgment atas pilihan homogenitas kelamin yang ia lekatkan pada tokohnya, kita juga hanya akan sanggup melihat, dan menanggapi berdasar guliran peristiwa yang mengikatnya. “Bagaimana dan apa syaratnya hingga orang yang satu punya kesan lebih dalam ketimbang yang lain? Bagaimana cara kerja hati?”

Pada ‘Balada Hari Hujan’, kita juga akan menemui sensasi keterkejutan. Alur dalam kisah ini begitu perlahan. Jauh dari kesan terburu-buru. Linda mampu menyelesaikan tahap demi tahap dengan memikat. Menggambarkan kerumitan sebagai sebuah usaha untuk mengurai tali kusut yang tak memiliki ujung. Dalam karya itu, kita melihat kesederhanaan suasana yang dibangun tanpa efek-efek bombastis. Hingga, ruang-ruang dualitas dari sosok yang tercerabut mampu tergambarkan dengan baik “..ini bukan kisah tentang kerajaan, melainkan kisah tentang kepedihan”, demikian ujar Linda di akhir bab tentang bagaimana seorang waria menyadari fenomena keabu-abuan yang menyanderanya.

Satu karya lain yang juga menarik adalah ‘Perang’. Situasi-situasi auratic yang mewabah di alam bawah sadar bangsa yang terjajah berusaha ditampilkannya. Bahwasannya, perang tak pernah menyisakan pilihan kecuali memberi kenyataan menang atau kalah yang sungguh jauh dari logika benar atau salah.

***

Fenomena sosial yang menguasai manusia hingga sampai pada kesan terberi itu, memang menjadi suatu kawasan hitam. Dalam ruas tersebut, garis batas menjadi sangat tipis, dan menyulitkan sehingga berbicara tentang kesadaran pun menjadi lebih rumit. Ada terlalu banyak kelebatan di tengah konteks Indonesia sebagai sebuah negara berkembang. Konteks itulah yang membuat kebenaran atas kenyataan menjadi berlapis-lapis. Ada bayangan; lalu lapis demi lapis tumpukan diatas kebenaran yang makin lapuk termakan usia dan karat jaman. Dan, itulah Indonesia kini. Sebuah kenyataan terberi yang memaksa anak-anak bangsanya untuk turut menanggung kelaliman dan dosa asal sosial. Dan, begitulah Linda merekam fenomena disekitarnya.
Pada Linda, hal itu tentu juga tidak serta merta menjadi. Ada fase dan bahkan terlalu banyak penggalan-penggalan peristiwa yang harus dilewatinya. Untuk itu, bolehlah ia merasa wajib berterima kasih kepada masa lalunya. Relung yang telah mengenalkan dia dengan hakikat kehidupan: turbulensi-dialektik.

Dahulu. Ketika Bangka masih menjadi satu wilayah propinsi Sumatera Selatan. Pada18 Maret 1970. Linda Chrystanti lahir. Di besarkan di atas pulau dengan kekayaan eksotik pada masa-masa Indonesia berada di ambang yang kontradiktif pengembangan logika-logika pembangunan-isme otoritarian sekaligus teror mental lewat penjagalan kebebasan.

Dari latar itu, Linda bergerak untuk menghayati banyak nilai. Perkenalannya diawali ketika banyak situasi mengharuskan ia memahami bagaimana organ pergerakan bekerja dan bagaimana aktifitas pasca kemerdekaan serta pertarungan politik mencapai klimaksnya pada 1965.

Linda kecil mulai mendapat suguhan perbincangan dari sang kakek yang pernah terlibat dalam perkumpulan serikat buruh Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Dan, sejak usia 8 tahun, ketika ia mendapat hadiah sebuah buku bersampul Merah dari sang kakek dan ia mulai berkisah tentang Soekarno, laki-laki yang pada masanya begitu ia puja.
Akibat pertemanannya dengan faktualitas dan serpihan masa lalu yang kompleks itu, jadilah Linda perempuan muda yang berhasil menyatakan sikap dengan jelas. Pada fase itu, ia bahkan berani mengaku dengan tegas telah membuat karya-karyanya menjadi semata mesin propaganda. Dengan kesadaran penuh, ia menetapkan pilihan itu. Tetapi, tentunya memang ada banyak aspek yang serta merta seperti semacam memberi berkat untuknya melakukan hal itu. Ada suasana sosial tak tertolakkan yang mengharuskan tiap orang harus bersikap sesuai dengan apa yang diyakininya. Bahwasanya, seni bukan semata seni. Pada titik itu, Linda menorehkan garisnya dan dengan logika-logika pengorganisiran, pengirisan. Ia mencipta.

Proses tersebut dilaluinya. Ia kemudian bergerak semata pada isu humanisme. Ia mulai meninggalkan bentuk-bentuk propaganda dalam karya-karyanya. Tidak ada konsep manipulatif pengorganisiran yang berkisah tentang bagaimana perempuan harus mampu berdiri dalam sebuah barisan, dan berani menyatakan sikap politik dengan jelas. Ia tidak memberlakukan objektifikasi peran marginal dalam sistem kerjanya. Tema-tema kemiskinan baik secara struktural maupun kultural sebagai wilayah yang paling mudah untuk dijadikan pijakan karyanya, mulai ia tepikan. Hari itu.

Karya-karyanya sendiri kemudian dikondisikan untuk tak terjebak semata pada logika binner. Tak ada tudingan sepihak. Yang tampil adalah sebuah usaha untuk merumuskan, menjabarkan sekian ricuh sistemik. Tidak melulu mengeksploitasi kesakitan, Linda bergerak bebas di atas batas satir yang menggila. Bahwasanya, masih tersisa sebuah harapan dalam karyanya.


Pada KTMP, kita dapati sebuah sinergi atas pandangan hidup tentang ‘relasi anonim dari kesadaran yang tersandera hingga kebuntuan memori kolektif menyatakan batas-batas yang sepatutnya harus ada dalam logika-logika manusia sebagai subjek-individu’. Fenomena itu memang merupakan buah simalakama dari pemberontakan terhadap proses dialektik serta konsekuensi dari usaha pengejewantahan keganjilan dan kekerdilan bangsa ini dalam mempercayai keberadaan dirinya sendiri. Sehingga, ketika usaha diri untuk terus menina-bobokkan mencapai titik akumulatif tak terperi, didapatilah kita dalam sebuah ledakan sosial bernama; anomali yang menjadi. Pada kondisi itulah, ‘mereka siap menjadi lupa’ mendapati konteksnya secara penuh; ini semacam kebenaran yang mendapati hakikatnya pada ruang dan waktu yang tepat. Sebuah kebetulan tak terencana yang terkondisikan. Terberi.

Keterasingan yang dituangkan `mereka siap menjadi lupa` dalam kisah-kisah tokohnya dapat kita lihat dengan jelas. Inilah imbas modernitas yang menjadi sampah di bawah sadar manusia-manusia terjajah. Meski bergerak diluar kaidah non medic analytic, Linda telah berani secara konsekuen menyatakan sikap melalui benderanya. Sikap pengarang atas bahasa yang dikenakannya dalam hal ini berlaku penuh. Konsistensi atas takdir perlawanan yang melekat sepenuhnya dalam diri manusia terjawab dengan tidak menggunakan rumus baku technical medical report. Sehingga, dalam kumpulannya kali ini kita tak akan terjebak dalam logika-logika hitam-putih yang keras. Dalam karya ini gila bukan semata abnormalitas yang di-judge berdasar paham ilmiah kedokteran yang sangat baku , melainkan lebih pada struktur bentukan dari kerja sistemik –konsep kausalitas realitas.

Sudah barang tentu, usaha yang dibuat Linda melalui karyanya adalah benih yang dapat kita tuai pada kelak. Meski di dalam karyanya, terekam carut-marut sistemik yang direduksi semata pada subjek-individu, sisi senyap itu begitu menggila. Ia dapat saja berkembang biak melalui pembelahan sel dan dengan demikianlah kita akan melihat sebuah Indonesia di kelak kemudian hari.

Emha Ainun Najib pernah bertanya,”Akan kemanakah angin melayang?” Linda berhasil menggambarkannya. Sementara, tugas kita kini adalah memetakan serta mengantisipasinya melalui banyak kemungkinan. Dan, tulisan ini merupakan sepenggal pembacaan atas perjalanan ingatan yang ditangkap dari buku gambar Linda Chrystanti. Berpijak pada berbagai kemungkinan itulah, usaha me-mahardika-kan diri untuk memperoleh ruang dan kesempatan yang paling representatif.



Jakarta, pada suatu kala 2004