Selasa, 09 Oktober 2007

Membaca Linda:Sebuah Upaya Memaknai Perjalanan Ingatan

Oleh Cindy Hapsari


Mengapa sebuah karya patut atau paling tidak menjadi perlu untuk diapresiasi? Tentu, jawaban kita berbeda-beda. Yang jelas, tidak ada salah satu di antara kita dapat memaksakan tafsir dan penafsiran atas sistem tanda yang seolah-olah bergerak masuk menelikung, kemudian bersemayam pada keyakinan setiap manusia. Misalnya, ada yang berkata, “Saya membeli buku ‘Kuda Terbang Mario Pinto’ karena ingin mengenang kembali pegasus kecil dan sama sekali bukan karena Linda Chrystanti, si pengarangnya.” Apa yang dapat kita katakan? Tentu, kita hanya akan tersenyum sambil berharap semoga si empunya berhasil mendapatkan apa yang ia cari.

Tak ada yang salah. Jelas, tak ada yang salah karena makna bersifat arbriter. Ia semena-mena. Bahkan, Tuhan bisa tewas dalam sekejap dalam genggaman jari-jari kita. Tentu saja, itu terjadi bila kita memang sungguh-sungguh menginginkannya. Sama seperti Nietzshe, kita bisa sangat berkuasa atas apa saja. Sebab, memang ada kedaulatan berpikir atas manusia selain tentunya ada juga aspek-aspek yang mengatasi kesadaran yang menjadi standar nilai di dalam mekanisme kehidupan itu sendiri. Dan, makna bergerak sekaligus bersamaan dengan sistem tanda dan tentunya juga berbarengan dengan bagaimana kekuasaan yang ada di sekeliling pemaknaan itu bekerja. Maka, ketika sebuah karya berhasil menerobos sistem pasar, dan telah berhasil menunjukkan kemampuannya menancapkan kuku di ruas-ruas ranah publik, ini menjadi hal penting dan patut kita bicarakan. Sebab, sebuah karya atau sesuatu -apapun itu-, ketika berada di ruang itu, akan memperoleh kembali haknya yang hilang untuk, minimal, dimaki.

Apa pentingnya pemaknaan? Dan, apa pentingnya kita membicarakan apa pentingnya pemakanaan di sini? Ah, tentu kita harus merelakan tak sedikit waktu buat ini. Sebab, ini sama halnya dengan persoalan pasca membaca, pasca melihat, dan pasca memilih.Jelas, semua memiliki konsekuensi. Membaca adalah hal yang mudah, tetapi memaknai adalah kerja yang menguras energi beberapa kali lipat dari pada sekedar membaca. Dalam memaknai, kita dipaksa untuk mampu merekonstruksi pemahaman. Sementara, konstruksi pemahaman sudah terlalu lalu-lalang dalam kehidupan. Kita masih pula diharuskan untuk menetapkan pilihan atau bagian mana yang kita percayai. Pemaknaan mengandaikan pemahaman meski dalam banyak hal memahami berarti ‘berdamai’. Tetapi, kita memperoleh tuntutan untuk menyatakan gagasan sampai pada batas pemaknaan. Sehin gga, sistem pemaknaan juga adalah usaha keberpihakan. Sebuah tindakan politis dari tubuh kehidupan kita.

Bagaimana kedudukan karya? Dalam hal ini, karya sastra. Sebuah kumpulan cerpen `Kuda Terbang Mario Pinto` karya Linda Chrystanti. Apa perlunya, kita melakukan usaha pemaknaan dalam hal ini? Apa menariknya seorang Linda Chrystanti denga`Kuda Terbang`nya?

Karya merupakan kumpulan sistem tanda yang dalam hal ini menggunakan bahasa non verbal sebagai medium utamanya. Bahwasanya, tulisan (cerpen) adalah media yang dipilih Linda Chrystanti untuk mentransformasikan realitas yang berkembang disekitarnya. Sementara, bahasa sebagaimana kita ketahui adalah sebuah pernyataan sikap. Itu adalah hal paling mudah yang dapat kita identifikasi. Meski demikian, ia sesungguhnya adalah alat mobilisasi peran yang paling efektif yang dapat digunakan untuk mendukung sebuah program kerja –jelas politis. Kerja-kerja ini mengharuskan kita untuk mau mempelajari teks-teks budaya yang berkembang dan sekian kemungkinan yang dihasilkannya. Pada bahasa ada, gerak perlawanan sebagai sebuah upaya merenkonstruksi realitas melalui pernyataan yang diamini sang pengarang (author). Bahwasanya, d i dalamnya, termaktub paham nilai yang jika di-metafora-kan akan menjadi bendera yang dikibarkan si pengarang. Pada Linda, kita akan mengidentifikasi kecenderungan yang ada sekaligus menjawab bagaimana konsistensinya dalam hal tersebut.

Yang akan kita gunakan sebagai tonggak -tolakan berfikir- adalah asumsi bahwa karya Linda sepenuhnya bertutur dengan gaya psikologi non medik. Hal ini dapat dengan mudah kita lacak melalui permainan kata yang digunakannya. Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana sikap Linda sebagai author atas bahasa.


Sastra-karya, sebagaimana fungsi kerja dalam kehidupan, sudah sejak awal berdiri di antara silang lintas paham. Tetapi, sebagaimana kita memahami dialektika triadik (triad dialectic) Berger; korelasi antara internalisasi, eksternalisasi dan objektifikasi menjembatani ruas-ruas persoalan yang ditimbulkan oleh pemahaman binner. Konsepsi dialektika triadik ini menjadi jalan keluar di antara pertentangan binner. Ini semacam sintesa atas logika yin-yang yang menggenapi korelasi kontradiktif. Sehingga, kini tidak menjadi penting, pernyataan –pun sekaligus pertanyaan-; misalnya, apakah sastra merupakan representasi hidup atau just ru sebaliknya. Dengan dialektika triadik ini, kita diajarkan untuk tak menafikkan unsur kesejarahan dalam turbulensi kehidupan seorang pengarang. Bahwa sesungguhnya, ada hal penting di balik sebuah kerja: bahwa hakikat menjadi sebuah dasar, das sein yang bukan beban atau kemudian sering kita dengar dengan sebutan cemooh `tugas mulia manusia` yang kemudian memang menjadi sebuah keharusan yang wajib. Wajib pada aras ini, diartikan sebagai sebuah bagian yang tak mungkin terpenggal dari tubuh sosial manusia. Bahwa kerja dan karya memiliki implikasi logis secara sosial, yakni pemenuhan kesadaran sebagai seorang manusia yang mampu memanusiakan dirinya maupun sekelilingnya. Dalam bahasa mudahnya, adalah, kesatuan/penyatuan makro dan mikro kosmik menjadi sebuah harmonisasi yang dialektis.

Dengan itu, kita akan mampu membedah kedirian sebuah karya tak terlepas dari teks maupun konteks yang menghinggapinya.

Untuk itu, sungguh sangat membantu, misalnya strukturalisme genetik yang dikembangkan Lucien Goldmann : bahwa untuk menjabarkan sebuah kedirian karya kita akan sampai pada satu pemahaman yang lebih baik apabila kita mampu merangkum kisi-kisi struktur karya, memahami subjek atau individu di belakang karya tersebut sekaligus paham pandangan dunia yang melingkupi karya tersebut. Nilai yang ditransformasikan dalam karya akan terungkap melalui intimasi dengan teks dan konteks yang dibangun berdasar kesadaran. Sehingga, tidak ada lompatan ekstrem yang meninggalkan lubang gelap dalam struktur sejarah maupun kebudayaan kita yang berkembang. Dengan metode ini, kita bisa tetap berjaga-jaga untuk sekedar sadar di tengah berbagai kemungk inan. Dalam kepungan kesunyian, misalnya.


“Mereka siap menjadi lupa”

Ini adalah kalimat yang diucapkan seorang ibu dalam cerita pendek (cerpen) `Qirzar` karya Linda Chrystanti (h.110). Sebuah cerpen yang berkisah mengenai para manusia yang berlomba untuk menjadi lupa. Mereka yang mengejar Qirzar dari Aqtar, minuman lupa yang dapat melumat dukakala kehidupan. Meluluh-lantahkan ingatan pedih kenyataan yang tak lagi tertanggungkan. Hingga, tubuh adalah semata ruang bagi jiwa yang tercerabut dari akar kesejarahannya.

Tetapi, benarkah kita siap menjadi lupa? Dalam The Book of Laughter and Forgetting, Kundera menyebutkan `perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa`. Ini menjadi semacam kisah manusia melawan takdir. Seperti mati, manusia juga diletakkan dalam kerangka renta meski kokoh di sisi lain tentunya. Dalam perjalanannya itu, terekam keping sebuah catatan –yang tak berbatas nilai kuantitatif dan kualitatifnya.. Memori dan iklim bawah sadar, tempat cendawan kejutan bermukim subur. Hingga, tiap kemungkinan tak mengenal kata tak mungkin.

Dan, demikianlah hidup manusia. Adakalanya, harddisk yang perlu di-defrag, begitu juga manusia. Ada kehendak merunut. Ada kehendak menjabarkan. Ada kehendak memaknai
rajutan awal dalam memori. Merangkai kembali akar kesejarahan. Demi sebuah ke-menjadi-an meski berada di tengah bayangan keretakan yang abadi sekalipun.

Dalam kaitannya dengan karya, `mereka siap menjadi lupa` adalah pernyataan menarik yang dapat digali. Hal ini mengingatkan penulis untuk segera mengkorelasikan cerpen-cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen `Kuda Terbang Maria Pinto` (selanjutnya disebut dengan KTMP) karya Linda Christanty dengan fenomena intertekstual yang ada. Misalnya saja, kaitan aleniasi sebagai imbas modernitas dengan gejala menjadi lupa yang merupakan subordinans yang terekam dalam perjalanan manusia sebagai seorang warga negara dari kelas yang terjajah.

***

Indonesia dalam kerangka negara bangsa hingga kini memiliki catatan panjang sejarah merah. Ini merupakan alur yang bersifat sangat kompleks. Indonesia adalah negara bangsa dengan struktur dan akar kesejarahan yang anonim. Mengapa demikian? Hal tersebut tak lain berkait dengan bentukan tak selesai yang tercecer dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kemudian, berbicara status dan keberadaan Indonesia dalam lintang geopolitik global terkait juga, kerja-kerja kapitalisme Internasional setelah kita dikepung dalam kerja-kerja kolonialis-imprealis lewat penjajahan sebelumnya. Belum selesai kita petakan, kerja-kerja itu merangsak, dan berkembang menggurita. Beberapa catatan akan menjadi terlalu panjang untuk disebutkan disini. Konsekuensi riil yang tertangkap dalam jaring-jaring pemaknaan kita sehari-hari adalah lahirnya kekerasan struktural maupun kultural yang menge ndap berkat status kemiskinan (dalam berbagai aras) yang bergerak tak seimbang diantara lapisan masyarakat yang ada. Akibatnya, pembentukan subjek –individu- makin tercerabut dari kemenjadiaannya dan kekerbentukannya sebagai manusia dari sejarahnya (manusia yang menyejarah). Secara psikologis, hal itu terlihat dari pembentukan opini bawah sadar (stereotype) yang terlalu hitam, samar untuk diejawantahkan dan bahkan bergerak menjadi semacam gelombang dari bawah tanah (pusara) yang menerpa konsep pemenuhan diri itu sendiri. Ia dapat menjadi badai yang sewaktu-waktu dapat hadir dan meluluhlantakkan segala sesuatunya (penulis menyebutnya sebagai tikaman gelombang kesadaran hitam).

Realitas sendiri akan menjadi semakin semu ketika Rasa (dengan R besar!) sendiri menjadi terdomestifikasi. Realitas semu adalah kenyataan yang bergerak yang justru dalam beberapa
waktu terakhir, harus kita akui sebagai sebuah kenyataan bentuk (figurative reality). Hal ini bekerja sistematik dan bergerak berbanding terbalik 180 derajat. Ada lapisan sosial realitas yang mau tak mau harus diakui sebagai kenyataan yang menimpa pada ke-kini-an kita, di hari-ini kita. Sehingga, kalau Slank membawakan lagu `Terbunuh Sepi`, memang sesungguhnya itulah yang tengah mengepung kita.

gerimis di tengah malam
di tempat sedingin ini aku sendiri
dan tak ada lagi tempat berteduh
dan tubuh untuk ku peluk
sepi membunuhku…

(Slank)

Keruntuhan ini adalah manifestasi terbesar dari keterasingan yang telah merenggut harkat kemerdekaan manusia. Semata, bukan pada wilayah personal, tetapi sudah hinggap mewabah hingga ke relasi-relasi sosial yang kemudian menjurus ke konflik sosial. Dan, `menjadi lupa` adalah sebuah ambisi yang dapat menolong mereka dari tikaman gelombang kesadaran hitam yang sudah terlalu lama membeku dan membekap mereka. Anomali insight yang kemudian banyak disebut-sebut sebagai `penyakit modernitas’.

***

Dalam karya Linda, kita akan mencermati hal tersebut. Dari 12 cerpen yang dimunculkan dalam KTMP (Kuda Terbang Maria Pinto, Makan Malam, Pesta Terakhir, Lubang Hitam, Balada Hari Hujan, Danau, Lelaki Beraroma Kebun, Perang, Joao, Qirzar, Rumput Liar, Makam Keempat), kita akan dapat melihat bagaimana Linda memaknai memori kolektif yang terekam dalam gejolak-gejolak sosial yang terjadi selama proses pembentukan bangsa ini.

Misalnya saja, pada cerpen pertama `Kuda Terbang Maria Pinto` dan `Joao` yang mengambil ruang dan waktu dimana aspek psikologis dari seorang manusia prajurit dari satuan gugus depan harus memahami tugas dan kewajibannya. Bedanya, Kuda Terbang Maria Pinto mengambil setting Yosef Legiman. Seorang tokoh Laki-laki Jawa-Khatolik yang berangkat ke Timur-Timor demi menunaikan tugas keprajuritannya. Sementara Joao justru digambarkan sebagai seorang tentara milisi yang baru berusia 14 tahun. Meski pada Kuda Terbang Maria Pinto terlihat bias-mitologi yang kuat, kedua cerita tersebut pada dasarnya merekam bagaimana unsur-unsur kewajiban militer yang pada banyak sisi telah mengebirikan manusia sebagai subjek-individu. Bahwa telah terdapat kontrak yang tak terelakkan, keharusan yang ada adalah semata sebuah kewajiban. D an, hal tersebut, yang pada dasarnya adalah sebuah kebijakan atau instruksi struktural, menjadi mutlak dilaksanakan. Tidak ada lagi subjek-individu yang mahardika.


Pada tataran ini, manusia digambarkan menjadi semacam boneka yang hanya mampu mengikuti aturan main yang bahkan tidak ia buat. Kesadaran yang tak menjadi. Bahkan, begitu mengerikan logika-logika macam ini berkembang. Hannah Arendt, filsuf berdarah Yahudi yang pernah mengalami masa kekejaman Nazi, menyebutnya sebagai banality of evil. Sebuah keadaan di mana kejahatan yang mereka lakukan sepenuhnya diyakini sebagai suatu bentuk kerja yang tak dapat digubah lagi sifatnya. Disiplin adalah agama, dan ketaatan adalah iman. Yakni, sebuah usaha untuk menerima perintah tanpa sedikit pun mengenal kata penolakan. Kini, segalanya bergerak menjadi rutinitas yang termaklumi.

Tentu, kita tak akan berusaha berlama-lama di ruang ini. Sebab, yang kita bicarakan adalah bagaimana Linda menjabarkannya kesakitan-kesakitan jiwa yang terjebak dalam raga yang penuh dengan tekanan sistemik sehingga ia tak mampu menyatakan keutuhannya. Tentu saja, kita boleh menyebut dia berhasil dalam hal ini meski ia mengakui bahwa masih banyak kelemahan yang ada. Terutama, hal itu menyangkut karakter yang ia bangun lewat struktur bercerita. Terdapat beberapa lompatan yang agak naif disana selain pengenduran tema semata menuju pada konflik personal.

Di luar dua cerpen yang sudah disebutkan di atas, juga dapat kita temui jejak-jejak yang sama dalam `Qirzar`. Bahwa lupa yang diinginkan oleh masyarakat Aqtar adalah manifestasi dari luka fisik maupun psikis yang mereka alami. Hal itu bermula dari begitu biasanya darah tumpah di sekitar mereka, dan betapa kekerasan adalah simbol yang menjadi batu penjuru dalam hidup mereka. Mengenang begitu padatnya memori kolektif menerima kenyataan pahit itu, bawah sadar manusia yang terbelenggu membentuk sebuah tempat berlindung baru. Qirzar dari Aqtar dianggap menjadi penawar mujarab dari hati yang nelangsa. Ia adalah jawaban. Dan, usaha menggapainya adalah wujud kerinduan tak terperi kepada penolakan terhadap lalim. Linda sendiri menuturkan bentuk kerinduan itu dalam kalimat `Ia ingin berbicara pada pemimpin agar perang dilenyapkan dari sejarah negrinya agar orang ta k perlu menghapuskan semua ingatan terbaik mereka.’ Memang, mana ada manusia yang rela kehilangan ingatan terbaik mereka…. Sebab, di sanalah romantika di batas harapan dan impian singgah di kesadaran yang kini.

Catatan-catatan gelap yang tertinggal dalam memori kolektif kita sebagai seorang manusia Indonesia memang begitu kejam. Dalam `Pesta Terakhir`, Linda mengupas sebuah fenomena penghianatan. Tentang bagaimana kesadaran menjadi tersandera ketika realitas dan kisi-kisi hitamnya menjebak seseorang. Pada titik itulah, apapun dapat dilalui melalui sebuah lompatan-lompatan beresiko tinggi ketika kehendak untuk berkuasa begitu mengakar. Kisah ini bertutur tentang laki-laki yang menjual jasa. Ia penjual suara. Penjual kabar. Yang berkata tentang kenyataan yang berbeda. Tetapi, justru disanalah berhasil menyambung hidup. Dan justru merdeka. Di tengah himpitan kebutuhan.

Tampaknya, kenyataan yang tergadaikan ini menjadi tema utama yang mengusik Linda. Dalam beberapa karyanya yang lain, ia juga mengungkapkan hal yang sama. Kesakitan personal dari luka-luka dalam memori kolektif yang telah terlampau mengakar. Misalnya saja, `Lubang Hitam`. Dalam kisah itu, Linda berusaha menggambarkan skizofrenia-paranoia dari seorang tokoh perempuan bernama Rena ketika ayahnya, laki-laki yang menurunkan berkah darah dalam dagingnya sendiri, memperkosanya. Pada kisah itu, Linda masuk menggunakan penghayatan Electra. Yakni, sebuah kisah tragik tentang anak yang mencintai ayah kandungnya sendiri. Umpatan-umpatan tentang batas citra diri perempuan timbul tenggelam. Misalnya saja, bagaimana Tina, adik tokoh Rena, memaki-maki arwah
ibunya. Diatas pusara ibundanya, ia berkata “Ibu, kenapa perempuan harus punya lubang?”

Sisi kelam hitam itulah, yang pada satu titik menghasilkan konsekuensi berantai yang bersifat massif. Bahwa ikatan sistemik dari kecarutmarutan yang ada toh pada akhirnya menggarami individu-individu untuk menjadi semakin matang. Bukan matang dalam belaian kesadaran, tetapi matang pada tingkat psycosickness. Sebagaimana Linda tidak melakukan judgment atas pilihan homogenitas kelamin yang ia lekatkan pada tokohnya, kita juga hanya akan sanggup melihat, dan menanggapi berdasar guliran peristiwa yang mengikatnya. “Bagaimana dan apa syaratnya hingga orang yang satu punya kesan lebih dalam ketimbang yang lain? Bagaimana cara kerja hati?”

Pada ‘Balada Hari Hujan’, kita juga akan menemui sensasi keterkejutan. Alur dalam kisah ini begitu perlahan. Jauh dari kesan terburu-buru. Linda mampu menyelesaikan tahap demi tahap dengan memikat. Menggambarkan kerumitan sebagai sebuah usaha untuk mengurai tali kusut yang tak memiliki ujung. Dalam karya itu, kita melihat kesederhanaan suasana yang dibangun tanpa efek-efek bombastis. Hingga, ruang-ruang dualitas dari sosok yang tercerabut mampu tergambarkan dengan baik “..ini bukan kisah tentang kerajaan, melainkan kisah tentang kepedihan”, demikian ujar Linda di akhir bab tentang bagaimana seorang waria menyadari fenomena keabu-abuan yang menyanderanya.

Satu karya lain yang juga menarik adalah ‘Perang’. Situasi-situasi auratic yang mewabah di alam bawah sadar bangsa yang terjajah berusaha ditampilkannya. Bahwasannya, perang tak pernah menyisakan pilihan kecuali memberi kenyataan menang atau kalah yang sungguh jauh dari logika benar atau salah.

***

Fenomena sosial yang menguasai manusia hingga sampai pada kesan terberi itu, memang menjadi suatu kawasan hitam. Dalam ruas tersebut, garis batas menjadi sangat tipis, dan menyulitkan sehingga berbicara tentang kesadaran pun menjadi lebih rumit. Ada terlalu banyak kelebatan di tengah konteks Indonesia sebagai sebuah negara berkembang. Konteks itulah yang membuat kebenaran atas kenyataan menjadi berlapis-lapis. Ada bayangan; lalu lapis demi lapis tumpukan diatas kebenaran yang makin lapuk termakan usia dan karat jaman. Dan, itulah Indonesia kini. Sebuah kenyataan terberi yang memaksa anak-anak bangsanya untuk turut menanggung kelaliman dan dosa asal sosial. Dan, begitulah Linda merekam fenomena disekitarnya.
Pada Linda, hal itu tentu juga tidak serta merta menjadi. Ada fase dan bahkan terlalu banyak penggalan-penggalan peristiwa yang harus dilewatinya. Untuk itu, bolehlah ia merasa wajib berterima kasih kepada masa lalunya. Relung yang telah mengenalkan dia dengan hakikat kehidupan: turbulensi-dialektik.

Dahulu. Ketika Bangka masih menjadi satu wilayah propinsi Sumatera Selatan. Pada18 Maret 1970. Linda Chrystanti lahir. Di besarkan di atas pulau dengan kekayaan eksotik pada masa-masa Indonesia berada di ambang yang kontradiktif pengembangan logika-logika pembangunan-isme otoritarian sekaligus teror mental lewat penjagalan kebebasan.

Dari latar itu, Linda bergerak untuk menghayati banyak nilai. Perkenalannya diawali ketika banyak situasi mengharuskan ia memahami bagaimana organ pergerakan bekerja dan bagaimana aktifitas pasca kemerdekaan serta pertarungan politik mencapai klimaksnya pada 1965.

Linda kecil mulai mendapat suguhan perbincangan dari sang kakek yang pernah terlibat dalam perkumpulan serikat buruh Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Dan, sejak usia 8 tahun, ketika ia mendapat hadiah sebuah buku bersampul Merah dari sang kakek dan ia mulai berkisah tentang Soekarno, laki-laki yang pada masanya begitu ia puja.
Akibat pertemanannya dengan faktualitas dan serpihan masa lalu yang kompleks itu, jadilah Linda perempuan muda yang berhasil menyatakan sikap dengan jelas. Pada fase itu, ia bahkan berani mengaku dengan tegas telah membuat karya-karyanya menjadi semata mesin propaganda. Dengan kesadaran penuh, ia menetapkan pilihan itu. Tetapi, tentunya memang ada banyak aspek yang serta merta seperti semacam memberi berkat untuknya melakukan hal itu. Ada suasana sosial tak tertolakkan yang mengharuskan tiap orang harus bersikap sesuai dengan apa yang diyakininya. Bahwasanya, seni bukan semata seni. Pada titik itu, Linda menorehkan garisnya dan dengan logika-logika pengorganisiran, pengirisan. Ia mencipta.

Proses tersebut dilaluinya. Ia kemudian bergerak semata pada isu humanisme. Ia mulai meninggalkan bentuk-bentuk propaganda dalam karya-karyanya. Tidak ada konsep manipulatif pengorganisiran yang berkisah tentang bagaimana perempuan harus mampu berdiri dalam sebuah barisan, dan berani menyatakan sikap politik dengan jelas. Ia tidak memberlakukan objektifikasi peran marginal dalam sistem kerjanya. Tema-tema kemiskinan baik secara struktural maupun kultural sebagai wilayah yang paling mudah untuk dijadikan pijakan karyanya, mulai ia tepikan. Hari itu.

Karya-karyanya sendiri kemudian dikondisikan untuk tak terjebak semata pada logika binner. Tak ada tudingan sepihak. Yang tampil adalah sebuah usaha untuk merumuskan, menjabarkan sekian ricuh sistemik. Tidak melulu mengeksploitasi kesakitan, Linda bergerak bebas di atas batas satir yang menggila. Bahwasanya, masih tersisa sebuah harapan dalam karyanya.


Pada KTMP, kita dapati sebuah sinergi atas pandangan hidup tentang ‘relasi anonim dari kesadaran yang tersandera hingga kebuntuan memori kolektif menyatakan batas-batas yang sepatutnya harus ada dalam logika-logika manusia sebagai subjek-individu’. Fenomena itu memang merupakan buah simalakama dari pemberontakan terhadap proses dialektik serta konsekuensi dari usaha pengejewantahan keganjilan dan kekerdilan bangsa ini dalam mempercayai keberadaan dirinya sendiri. Sehingga, ketika usaha diri untuk terus menina-bobokkan mencapai titik akumulatif tak terperi, didapatilah kita dalam sebuah ledakan sosial bernama; anomali yang menjadi. Pada kondisi itulah, ‘mereka siap menjadi lupa’ mendapati konteksnya secara penuh; ini semacam kebenaran yang mendapati hakikatnya pada ruang dan waktu yang tepat. Sebuah kebetulan tak terencana yang terkondisikan. Terberi.

Keterasingan yang dituangkan `mereka siap menjadi lupa` dalam kisah-kisah tokohnya dapat kita lihat dengan jelas. Inilah imbas modernitas yang menjadi sampah di bawah sadar manusia-manusia terjajah. Meski bergerak diluar kaidah non medic analytic, Linda telah berani secara konsekuen menyatakan sikap melalui benderanya. Sikap pengarang atas bahasa yang dikenakannya dalam hal ini berlaku penuh. Konsistensi atas takdir perlawanan yang melekat sepenuhnya dalam diri manusia terjawab dengan tidak menggunakan rumus baku technical medical report. Sehingga, dalam kumpulannya kali ini kita tak akan terjebak dalam logika-logika hitam-putih yang keras. Dalam karya ini gila bukan semata abnormalitas yang di-judge berdasar paham ilmiah kedokteran yang sangat baku , melainkan lebih pada struktur bentukan dari kerja sistemik –konsep kausalitas realitas.

Sudah barang tentu, usaha yang dibuat Linda melalui karyanya adalah benih yang dapat kita tuai pada kelak. Meski di dalam karyanya, terekam carut-marut sistemik yang direduksi semata pada subjek-individu, sisi senyap itu begitu menggila. Ia dapat saja berkembang biak melalui pembelahan sel dan dengan demikianlah kita akan melihat sebuah Indonesia di kelak kemudian hari.

Emha Ainun Najib pernah bertanya,”Akan kemanakah angin melayang?” Linda berhasil menggambarkannya. Sementara, tugas kita kini adalah memetakan serta mengantisipasinya melalui banyak kemungkinan. Dan, tulisan ini merupakan sepenggal pembacaan atas perjalanan ingatan yang ditangkap dari buku gambar Linda Chrystanti. Berpijak pada berbagai kemungkinan itulah, usaha me-mahardika-kan diri untuk memperoleh ruang dan kesempatan yang paling representatif.



Jakarta, pada suatu kala 2004

Tidak ada komentar: