Selasa, 09 Oktober 2007

Di Apartemen Erick

Oleh Agus Sarjono


Di apartemen tingkat sepuluh, di pinggiran Utrecht
bintang-bintang tak kelihatan. Tapi lampu-lampu kota
berkedipan bagai kunang di jauhan. Di luar badai salju
dan angin kencang. Kami lepas mantel
dan hati yang tegang. Erick, Inggrid, Nenden, Karen
dan Medelin saling berpandangan, menghirup teh panas
membuka buku puisi dan memetik gitar.
Kami nyanyikan lagu-lagu lama. Nyiur hijau
di tepian pantai yang jauh, memanggili desa
yang tercinta tanah air beta. Sambil mengusap airmata
seperti mengusap luka dan sakit yang purba
Medelin melenguh diam-diam. Sudah berlayar
jauh kemari ooh jauh kemari, tanah Ambon
wahai tanah Ambon selalu saja berdebur
dalam ingatan. Tapi malam telah kelewat dalam.
Di bawah badai salju kami berarak
menuju halte sambil berseru Que sera-sera
apa yang bakal terjadi biar terjadi
Kamipun faham akhirnya. Tanah air abadi
selalu serupa mimpi. Negeri-negeri
yang dicintai, kenangan-kenangan lama
yang enggan mati. Di dalam kereta
kami biasakan diri kami
menjalani patah hati ini.

1999

Tidak ada komentar: