Selasa, 09 Oktober 2007

Beamtenstaat

Oleh Heribertus Sulis


“Kalau di Negeri Belanda, dan ternyata orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya, orang Hindia musti diperintah oleh orang-orang Belanda,”
(Hidjo, Student Hidjo, 46)

“Meskipun saya seorang Belanda, tetapi saya seorang manusia juga yang mencintai rakyat bumiputera. Sebab mereka juga manusia. Dan saya sebagai pemimpinnya wajib menjaga keselamatanya,”
(Tuan Asisten Residen S, Hikajat Kadiroen, 162)


Dalam sejarah prosesnya, nasionalisme dan negara seringkali menjadi dua hal yang bertentangan meski kecenderungan modern keduanya pada akhirnya, adalah peleburan yang melewati jalan beronak-darah. Seperti di Indonesia dan juga di banyak negara berkembang, nasionalisme yang lahir dan bertumbuh dari sebuah gerakan menentang kekuasaan kolonialisme, menempuh pula jalan tak gampang itu.

Gerakan nasionalisme awal yang dilakukan kaum terdidik bumiputera untuk memperjuangkan kebebasan individu-individu manusia ini menjadi tanda adanya keinginan manusia terjajah untuk membentuk suatu bangsa dan menciptakan sebuah negeri yang tidak lagi dipegang dan dikuasai oleh penjajah (yang selain telah mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi, juga telah menciptakan suatu dunia sosial budaya yang hierarkis diantara keduanya); melainkan kekuasaan negara baru yang dibangun atas dasar kemampuan sendiri.

Ide negara-bangsa ini, di mana negara memiliki kelahiran yang lebih tua dibandingkan bangsa, pada akhirnya akan memunculkan adanya peleburan yang memiliki karakter dominasi satu pihak terhadap pihak lain (Anderson, 2000). Dalam banyak kasus di Eropa, negara memiliki sejarah yang lebih tua dibanding kemunculan sebuah bangsa, sehingga nasionalisme terbentuk dalam suatu negara yang telah berdaulat. Mereka membentuk bangsa adalah untuk meneruskan nilai-nilai agung yang telah ada, yang ditumbuhkan selama berabad-abad berupa kesadaran akan hak-hak individu.

Sedangkan yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya, bangsa terbentuk mendahului kedaulatan negara; keinginan membentuk suatu komunitas nasion adalah untuk melawan penindasan yang dilakukan kolonialis yang tidak mengakui hak-hak individu sebagai manusia, sehingga pembentukan negara yang diinginkan selalu dibayang-bayangi kekuasaan negara penjajahnya. Bukannya melindungi masyarakatnya, negara baru ini malah mewarisi nilai-nilai penindasan pendahulunya dengan bertindak korup dan sewenang-wenang. Individu warga tak diakui dan dijamin hak kebebasannya, keadilannya, atau keamanannya untuk mengembangkan diri.


Dalam salah satu tulisannya, Ben Anderson telah memaparkan dengan padat bagaimana watak negara kolonial menjelmakan diri dalam bentuk negara Orde Baru dengan menyertakan pembuktian-pembuktian, yang menurutnya, merupakan akibat dari desakan tertentu dalam kebijakan di bidang ekonomi, sosiopolitik dan militer. (Negara dalam hal ini adalah suatu lembaga yang sama dengan lembaga lainnya seperti perusahaan, univeritas atau gereja; yang diartikan oleh Ben Anderson, memiliki karakteristik aturan keluar-masuk personalia yang cermat, memiliki memorinya dan menampung desakan-desakan pelestarian dan pengagungan diri, yang diekspresikan melalui anggota-anggotanya yang hidup namun tidak dapat direduksi menjadi ambisi-ambisi pribadi mereka yang terungkap. Kelahiran negara-bangsa dilalui dengan suatu permusuhan antara “bangsa” sebagai gerakan solidaritas di luar negara di satu sisi, dan “negara” kolonial di sisi lain).

***

Negara kolonial tampak bentuknya sejak abad 17 pada perusahaan dagang VOC melalui pembentukan tentara, memungut pajak, membuat traktat, menghukum orang. Pendekatan politik-militer ini terus berlanjut melalui penegakan rust en orde hingga diberlakukannya Politik Etis, suatu politik balas budi yang dilakukan kaum penjajah yang dalam kata-kata van Deventer, “bertujuan agung membentuk lapisan sosial di Timur Jauh yang berutang budi pada Belanda karena memberi mereka kemakmuran dan budaya tinggi.”

Sejarah peleburan dalam bentuk dominasi negara-bangsa di Indonesia bisa dilihat pada masa munculnya zaman pergerakan menyongsong abad XX, terutama ketika diberlakukannya Politik Etis oleh negara kolonial.

Bagi penjajah, Politik Etis dipergunakan untuk mempertahankan jarak sosial budaya antara kaum penjajah dan terjajah; suatu hal penting untuk membangun adanya “perantara” antara penjajah dan terjajah yang terentang jurang, sekaligus tetap mendidik mereka dalam batas-batas yang dibutuhkan, terutama untuk memenuhi kebutuhan administrasi. Untuk mengurusi bidang-bidang pengairan, keagamaan, pengawasan politik, dan pendidikan yang sesuai dengan cara kerja kolonial, jelas dibutuhkan tenaga-tenaga terampil pribumi dengan didikan “modern”. Pegawai administrasi ini haruslah memiliki kharisma dan status sosial tinggi dalam tata masyarakat pribumi. Hal ini diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan kolonial, yaitu dengan cara memanfaatkan kedudukan terhormat mereka “hanya” di mata masyarakat saja, sedangkan secara sturktural mereka tetaplah di tempatkan di bawah kekuasaan kolonial. Dengan demikian, masyarakat akan dapat dikontrol dengan cara menjadikan para keturunan priyayi tersebut sebagai bagian dari kekuasaan kolonial.

Tetapi, Politik Etis melalui pendidikan gaya Barat tidak hanya memproduksi jenis tenaga kerja untuk negara. Pendidikan ini juga digunakan oleh pihak kolonial untuk membuat bumiputera menjadi orang-orang modern seperti gaya hidup Barat (Eropa). Selain itu, pendidikan gaya Barat memungkinkan Bumiputera untuk menaikkan status sosial mereka. Contoh yang baik dalam soal ini adalah novel Student Hidjo karya Mas Marco. Bagaimana kehidupan priyayi muda (Hidjo) digambarkan mirip (sesuai) dengan kebiasaan hidup Barat: menonton bioskop, berjalan-jalan di kebun binatang, minum limun di restoran, lebih senang membaca buku daripada mengobrol, dan mendengarkan musik yang bukan gamelan (Shiraisi,1997). Dan, kemungkinan menaikkan status sosial keluarga tampak dalam keinginan ayahanda Hidjo yang seorang saudagar, yang sengaja menyekolahkan anaknya agar menjadi ingeniur di Negeri Belanda.



“Saya hanya seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini, orang masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement. Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut menjadi pegawai Gouvernement, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar atau petani. Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja. Buktinya anak kita juga bisa belajar seperti regent-regent dan pangeran-pangeran.” (hal.2-3)

Regent-regent dan pangeran-pangeran, jauh sebelum terbentuknya pergerakan modern, adalah kelas sosial tinggi dalam masyarakat Jawa yang diangkat sebagai administrator bawahan pemerintahan Belanda. Bupati berfungsi sebagai penghubung utama antara penduduk desa dengan pemerintah kolonial, antara dua dunia yang terentang jurang. Mereka menjadi kelas terdidik pribumi yang memiliki kesadaran “tradisional” yang khas priyayi, sekaligus kesadaran “modern” melalui penguasaan keterampilan teknis birokrasi dan penguasaan bahasa Belanda.

Dua kesadaran inilah yang menjadi watak jamak pembentukan nasionalisme Indonesia yang mana, kaum muda bumiputera yang lebih radikal dibanding generasi pendahulu mereka memiliki kesadaran nasion yang lebih tinggi. Salah satu tokoh radikal masa itu adalah Semaoen, yang mengarahkan pergerakan menuju aksi langsung dan jalur yang revolusioner melalui organisasi ISDV. Dalam novelnya, Hikajat Kadiroen, Semaoen mengkritik kebiasaan Jawa yang hormat-tunduk pada orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan menertawakan tata cara adat Jawa yang melakukan sembah dan jongkok di hadapan petinggi (Shiraisi, 1997).

Yang disebut sebagai Opas di sini adalah seorang tua bernama Pigi. Ia sudah 33 tahun bekerja menjadi opas Asisten Wedono Samongan. Ia sudah biasa mendapat pelajaran, bagaimana menghormati semua tamu-tamu Belanda. Apalagi jika tamunya itu adalah Tuan Administratur. Tamu orang besar seperti itu, pasti akan dia sebut kanjeng. Demikian pula apa yang diperintahkan oleh para tamu-tamu besar semacam itu, pasti segera dilaksanakan dengna secepat-cepatnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Opas Pigi segera berlari seperti dikejar harimau, menghadap tuan Asisten Wedono yang sedang makan pagi di ruang makan, rumah belakang. Ketika Tuan Asisten Wedono mengetahui ada tamu Tuan Administratur, ia segera berhenti makan. Ia mengambil baju jas dan dengan tergopoh-gopoh seperti orang yang hendak naik kereta api yang siap berangkat, berlari ke pendopo untuk menemui tamu besar Tuan Admisnistratur tersebut.

Administratur menceritakan kasus pencurian ayam yang dialami ‘nyonya’ dan memerintahkan Asisten untuk menyelesaikannya, dan Asisten menyatakan kesanggupannya. Kelucuan terjadi pada penggunaan kata “pergi” yang diucapkan Tuan Administratur dengan logat Belanda menjadi “pigi”, hal mana sama dengan nama Opas tersebut, Pigi.



“Saya kanjeng, sebentar lagi saya akan datang ke rumah kanjeng untuk mengurusnya sendiri.”
“Baik Asisten. Jadi Asisten mau pigi….”
“Kanjeng…!” terdengar suara keras Opas Pigi dari luar. Ia segera berlari dan duduk bersila seperti katak menghadap Tuan Administratur. Tuan Administratur menjadi sangat terkejut dan marah besar, kaerna ia tidak merasa memanggil opas. Tetapi kini datang seorang opas. Ia mengangkat kakinya, dan sambil sepatunya terarah ke muka opas ia berteriak:
“Pigi!”
“Hamba Kanjeng!”
Opas Pigi tetap duduk sambil menyembah-nyembah mendapat usiran Tuan Administratur.


***

Pada masa yang lebih belakangan, negara kolonial mengalami pembesaran dalam jumlah pegawainya, baik yang berasal dari Eropa maupun bumiputera. Masa ini ditandai pengeluaran biaya negara yang berlipat-lipat untuk membiayai urusan kepegawaian. Peran negara kembali muncul dalam bentuk militerisme yang nyaris memecah belah wilayah kolonial Belanda di bawah penjajahan Jepang. Negara bertambah babak belur setelah dilanda kemerosotan moral dalam bentuk korupsi dan hiperinflasi yang tak kunjung teratasi. Namun, kemungkinan terburuk dari hilangnya negara ini tidak segera tampak. Cita-cita membentuk negara sendiri mada masa lalu segera dibentuk dengan tergesa-gesa. Dua negara kemudian muncul dan saling berebut kekuasaan: negara republik yang baru lahir dan negara kolonial Belanda yang ingin kembali berkuasa (Anderson, 2000).

Sejak zaman revolusi, beberapa jabatan dan fungsi beamtenstaat telah diambil alih oleh kalangan baru yang tidak memiliki kedudukan pada masa kolonial: kyai, kaum muda dan orang awam buta huruf yang menduduki jabatan komando militer setempat. Keadaan ekonomi yang terpuruk sejak masa revolusi, perpecahan wilayah akibat kebijakan militer Jepang, konfrontasi politik antara partai-partai besar dan adanya pemerintahan demokrasi terpimpin di masa pemerintahan Sukarno mengakibatkan menguatnya posisi militer di Indonesia. Kemungkinan itu muncul karena tentara dianggap netral dan tertutup bagi kepentingan partai yang sedang saling bertikai. Kekuasaan besar yang dilimpahkan negara bagi militer mencapai puncaknya saat pembantaian yang dilancarkan terhadap pemberontak-pemberontak PKI. Operasi besar inilah yang mengangkat Sersan Suharto menjadi pemimpin militer yang berpengaruh dan menggantikan posisi Sukarno. Kerapuhan demi kerapuhan yang diderita negara telah mengangkat posisi Suharto beserta bala tentaranya untuk menetapkan kekuasaan melalui penertiban dan stabilitas negara yang guncang. Rust en orde kembali ditegakkan; kali ini lewat kepemimpinan militer bumiputera

Meskipun usaha penegakan rust en orde merupakan kebijakan yang logis dalam menyikapi situasi saat itu, akibat yang ditimbulkannya tidaklah main-main. Masuknya modal asing melalui kebijakan ekonomi semakin menyuburkan kekayaan para pegawai negara. Muslihat pemilihan pegawai pemerintahan yang dimanipulasi lewat pemilihan tidak langsung, pengawasan warga negara oleh aparat intel, doktrin dwifungsi tentara, sentimen rasis warga Cina, dan pemotongan partai-partai politik dirancang untuk menciptakan kemantapan kekuasaan Orde Baru atas nama stabilitas negara.

Selain itu, Orde Baru telah berhasil pula menciptakan wacana identitas kebangsaan yang bercorak esensialis (Ariel Heryanto, Kalam 3) yang mengklaim diri sebagai bangsa dengan nasionalisme yang khas Timur Indonesia (Pancasila) bukan Barat, alamiah, dan pribumi. Nasionalisme yang diwacanakan Orde Baru adalah nasionalisme yang menolak manusia sebagai individu, sekaligus menolak manusia sebagai identitas lintas bangsa. Individu ditolak otonomi dirinya sebagai manusia, dan dianggap melebur dalam masyarakat warga negara saja. Secara arbitrer manusia Indonesia dianggap bukan sebagai bagian dari suatu perlintasan dan percampuran global, melainkan dikungkung dalam kerangka negara-bangsa “Indonesia”. Percampuran dalam bentuk negara-bangsa ini dimanfaatkan penguasa untuk menentukan bentuk nasionalisme Indonesia; suatu jejak yang masih tampak tapak-tapak kolonialnya.

Bukankah sampai saat ini identitas “Indonesia” masih menunjukan watak diskriminatif pada sebagian anggotanya dan menunjukan dikotomi yang beku pada konsep ‘jati diri’ Timur yang asli dengan Barat yang asing? Tidakkah sampai saat ini pembentukan bangsa di tanah Indonesia masih dibayang-bayangi kekuasaan negara yang represif? Aceh, Papua, Sulawesi, Maluku sampai saat ini tidak berhak menentukan proses kebangsaanya sendiri; mereka dipaksa masuk dalam bagian teritorial warisan kolonial Hindia, dan menyebut gerakan-gerakan yang mereka lakukan sebagai suatu Gerakan Pengacau Keamanan, “anti-integrasi”, bahkan “anti-nasionalis”. Bahkan orang-orang Cina masih saja dibedakan dan diperlawankan dengan istilah-istilah pribumi dan non pribumi.


Watak kolonial memang selalu membayangi setiap bangsa yang pernah merasakan bentuk penjajahan, dan tidak terbatas pada para birokrat negara saja. Dalam prakteknya, bayang-bayang ini bukanlah sesuatu yang semu dan tipuan mata semata, melainkan nyata dan bisa dimiliki setiap manusia yang tidak mau melihat bahwa ada kenyataan lain yang semestinya dipahami, yaitu identitas-identitas (individu, komunitas, bangsa-bangsa) yang sebenarnyalah selalu berubah.

Tidak ada komentar: