Selasa, 09 Oktober 2007

Idiologi Jilbab

Oleh Sahat Br Saragi


Manusia pada dasarnya adalah unik. Karakter antara manusia satu dengan manusia lainnya amat berbeda. Terkadang, perbedaan itu bisa dirasakan keindahannya, yang pada akhirnya memunculkan damai dalam keragaman. Seperti slogan militer, damai itu indah. Namun yang kerap terjadi perbedaan itu justru memunculkan perbedaan yang sengit. Bukan saja dalam bidang politik, untuk urusan perut saja perbedaan dijadikan alasan, untuk men-stigma orang sebagai pendosa. Manusia tidak akan sama selamanya. Orang yang jahat bisa berubah menjadi baik, orang yang baik bisa berubah menjadi sangat baik atau berubah menjadi orang yang jahat. Seperti apa yang diungkapkan Feurbach, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.


Dalam suatu falsafah kehidupan pun muncul perbedaan. Seperti dalam Islam mewajibkan muslimah untuk menggunakan jilbab. Jilbab adalah suatu keharusan, terlepas dari pemaknaan dia terhadap jilbab itu sendiri. Di kalangan muslimah postmo, melihat jilbab adalah suatu aturan yang tidak boleh dilanggar, namun sebagai manusia dia ingin terus ber-metamorfosis, mengikuti trend yang sedang in. Muncul apa yang dinamakan jilbab gaul, berjilbab tapi tetap funky. Ada juga muslimah yang secara kultural menilai jilbab adalah bagian dari bentuk hubungan transenden antara dia sebagai manusia dengan Dia yang menjadi Tuhan. Yang pada akhirnya memunculkan ekslusifitas dalam habluminannas. Bisa dilihat bagaimana proses kultural yang terjadi antara muslimah yang memiliiki kesamaan dalam simbol yang dimunculkan. Atau muslimah yang menggunakan jilbab karena tradisi yang dibangun oleh lingkungannya.

Kedua hal tersebut tentunya melalui sebuah proses, manusia akan terus mencari makna dia sebagai manusia, di tengah kehidupan bermasyarakat. Alasan seorang muslimah menggunakan jilbab tidak sama dengan muslimah lainnya. Ada muslimah yang menkaffahkan dirinya sebagai muslimah berdasarkan hidayah yang didapatkannya. Dan tidak bisa dinafikan muslimah yang menggunakan jilbab secara kultural. Karena orangtuanya haji, maka akan tidak etis jika anak perempuannya tidak menggunakan jilbab. Atau karena belajar di pesantren, maka mau tidak mau harus mengenakan jilbab. Banyak hal yang melatarbelakangi proses muslimah menggunakan jilbab. Satu persatu alasan yang menjadi dasar penggunaan jilbab tak bisa kita katakan salah, ataupun benar. Selama seorang perempuan mengaku sebagai islam/muslimah, maka dia wajib mengenakan jilbab. Namun, peletakkan makna wajib pada jilbab secara materil ataukah jilbab secara keseluruhan .yang membentuk pribadi manusia ?

Masyarakat menilai setiap muslimah yang mengenalcan jilbab sebagai perempuan baik-baik. Hal ini dilandasi suatu aturan dalam buku suci yang menjadi pegangan dalam kehidupan. Dan penilaian itu akan berubah ketika perempuan yang pernah menggunakan jilbabnya untuk melepas jilbab. Retardasi iman, stres ataupun membuka jalan menuju kekufuran. Hal itulah yang kerapkali terlontar ketika seorang muslimah melepas jilbab.


Manusia dalam perjalanan spirituilnya akan melakukan suatu evolusi. Begitupun dengan karakter muslimah tanpa jilbab. Indonesia sebagai sebuah negara mendapatkan pengakuan internasional sebagai negara terbesar yang penduduknya memeluk agama Islam. Jumlah penduduk yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia mayoritas perempuan. Jika menggunakan analogi ini, maka seharusnya industri kecil yang memproduksi jilbab tidak akan gulung tikar. Kalangan buruh yang mayoritas perempuan yang bekerja pada industri tekstil sedikitnya memiliki harapan pekerjaan tetap.

Tapi apa yang terjadi di lapangan ? Makhluk berjenis kelamin perempuan yang mendominasi jumlah penduduk di Indonesia tidak semuanya mengenakan jilbab. Bukan lantaran ketidakmampuan memiliki jilbab. Ada suatu aturan masyarakat yang amat, kejam, disadari atau tidak telah memasuki ruang privat terhadap perempuan yang mengenakan jilbab. Lantaran jilbab itu telah meniadi simbol dalam idiologi.

Kita bisa masuk dalam ruang kondisi makna yang dikonstruk dan dibawa oleh bentuk simbol dalam berbagai variasi yang cenderung membangun dan mempertahankan relasi dominasi dalam sebuah idiologi. Jilbab, merupakan sebuah identitas yang ditonjolkan, membedakan antara perempuan Islam dengan perempuan bukan Islam. Pernah ada suatu cerita, yakni seorang ibu-ibu yang mampir ke sebuah warung makan. Lantaran lapar, dia memesan makanan tanpa bertanya makanan yang dipesannya terbuat dari apa. Lantas pelayan tersebut mengantarkan makanan yang telah dipesan ke meja tempat ibu itu duduk, namun makanan hanya dipegang saja, tidak langsung disajikan. Ibu tersebut merasa kesal dengan ulah pelayan lantas menghardiknya. Namun pelayan tetap diam, memegang piring berisi makanan seperti semula. Tidak menyaj ikan pada ibu tersebut clan kemudian bertanya agama yang dianut oleh ibu itu. Setelah ibu menerangkan dengan kesal, pelayan menjelaskan bahwasanya makanan yang terhidang di sini mengandung minyak babi, dan setahunya orang yang beragama Islam dilarang untuk memakan makanan yang mengandung babi.

Dari secuil kisah di atas, kita dapat menunjukkan bagaimana makna yang dikandung dalam sebuah simbol dapat membangun dan mempertahankan relasi dominasi, dengan mengembangkan peran yang dimainkan bentuk simbol tersebut serta dampaknya pada ' kehidupan individu yang menjadi objek penggunaan bentuk simbol tersebut. Bisa jadi si Ibu tidak jadi memakan makanan yang mengandung minyak babi, karena dilandasi kesadarannya memakan makanan apapun yang mengandung minyak babi adalah haram. Interpretasi yang dimunculkan menjadi bukti ke-Islaman-nya.


Jilbab bukan sekedar interpretasi. Siapapun perempuan yang mengenakan jilbab sah-sah saja mendapatkan predikat baik dari masyarakat. Namun akan sulit bagi perempuan yang lantas mendapatkan nilai sebagai perempuan buruk lantaran pernah mengenakan jilbab kemudian menemukan kesadaran untuk melepasnya. Jika jilbab menjamin terbebasnya manusia terhadap segala bentuk penindasan atas manusia lainnya, pakailah jilbab. Sayangnya jilbab menjadi simbol dalam konsep idiologi dan mengidentifikasi beberapa konsepsi dasar idiologi yang dimunculkan lantas memberikan ambiguitas pemaknaan jilbab dalam idiologi.

Tidak ada komentar: